Saturday, July 17, 2010

Meninjau Penggunaan Hadith Dho'if Dalam Fadhilah Amal


Hadith dho’if adalah setiap hadith yang mardud (tertolak) yang tidak memenuhi syarat hadith sahih atau hadith hasan. Boleh jadi hadith tersebut terputus sanadnya, terdapat perawi yang tidak ‘adl (tidak soleh), sering berdusta, dituduh dusta, sering keliru, atau hadith tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi) atau riwayatnya menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya) darinya.


Tersebarnya hadith dho’if atau yang lebih parah lagi hadith palsu menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di tengah-tengah umat Islam. Kerosakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya lebih parah dari penyerangan tentera Yahudi terhadap umat Islam. Kerana yang merosak dengan menyebarkan hadith dho’if dan palsu adalah umat Islam sendiri, amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan puasa Nisfu Sya’ban atau solat pada malam Nisfu Sya’ban terjadi kerana motivasi dari hadith dho’if. Begitu pula beberapa zikir tanpa tuntunan seringkali jadi amalan juga karena motivasi dari hadith-hadith dho’if atau bahkan palsu yang sengaja dibuat-buat oleh orang-orang yang bermaksud baik namun melewati jalan yang keliru.


Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan perkataan Abul Fadhl Al Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah dalam Islam dan yang sengaja membuat hadith maudhu’ (yang palsu yang diriwayatkan oleh perawi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merosakkan daripada orang mulhid (musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merosakkan Islam dari luar.”[1]


Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia katakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu dusta, maka ia termasuk salah satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3).


Bagaimana hukum beramal dengan hadith dho’if tentang fadhilah amal (keutamaan amal)? Ulama pakar hadith dan pakar fiqih dahulu dan sekarang terus berselisih pendapat dalam masalah ini. Itulah yang akan kita angkat pada pembahasan ini.



Pendapat yang Melarang secara Mutlak

Menurut sekelompok ulama, hadith dho’if tidak digunakan dalam fadho’il a’mal (menjelaskan keutamaan amal) dan juga tidak dalam masalah lainnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Al Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya.


Muslim An Naisaburi rahimahullah mengatakan, “Hadith dalam agama ini boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan larangan, atau boleh jadi membicarakan tentang dorongan (targhib) atau ancaman (tarhib) tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perawi yang meriwayatkan hadith bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian ada pula perawi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang menyebarkan hadith yang mengandung perawi semacam ini adalah orang yang berdosa karena perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum muslimin yang awam. Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang yang mendengar hadith-hadith dho’if semacam ini mengamalkannya, mengamalkan sebahagian atau lebih banyak. Padahal di antara hadith-hadith tersebut ada yang berisi perawi pendusta, sebagian lainnya adalah hadith yang tidak diketahui asal usulnya.”[2] Intinya, Imam Muslim berpandangan bahwa hadits dho’if tidak boleh diamalkan sama sekali.


Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang dikatakan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab sahihnya –secara zahir (tekstual)- bermakna hadith dalam masalah targib (memotivasi untuk beramal) diriwayatkan sama halnya dengan riwayat yang membicarakan tentang masalah hukum”[3]. Artinya jika hadith yang membicarakan tentang masalah hukum tidak boleh berasal dari hadith dho’if, hal yang sama berlaku pula pada masalah fadhilah ‘amal.


Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak bolehnya menggunakan hadith dho’if secara mutlak baik dalam masalah fadhoil a’mal dan masalah lainnya.[4] Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah[5] dan juga murid-muridnya.



Pendapat yang Bersikap Lebih Ringan

Sebahagian ulama ada yang memberi keringanan dalam menyebutkan hadith dho’if asalkan memenuhi tiga syarat:

  • Dho’if-nya tidak terlalu dho’if.
  • Hadith dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits sahih.
  • Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.

Dari sini, berarti jika hadithnya sangat dhoif (seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.


Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits sahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan. Misalnya hadith yang memiliki pendukung dari hadith yang sahih: Kita meriwayatkan hadits tentang keutamaan solat Jama’ah, namun hadithnya dhoif. Maka tidak mengapa menyebut hadith tersebut untuk memotivasi yang lain dalam solat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena jika hadith tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadith sahih. Hanya saja hadith dho’if tersebut sebagai motivasi. Namun yang jadi pegangan sebenarnya adalah hadith sahih.


Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, yaitu hendaklah tidak diyakini bahwa hadith dhoif tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan. Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadith-hadith tersebut adalah hadith sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ditegaskan kalau hadith itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam syarat ketiga ini para ulama memberi aturan, hadith dho’if tersebut hendaknya dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Penjelasan dari Ibnu Taimiyah

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah berdasarkan hadith dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya ketika kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masalah hukum) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang sahih). Akan tetapi jika diketahui sesuatu itu terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan diketahui bahwa hadith tersebut bukan diriwayatkan oleh perawi pendusta, maka hadith tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadith yang berisi perawi pendusta (baca: hadits maudhu’/ palsu). Namun patut diketahui bahwa memotivasi suatu amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang jelek didukung dengan dalil lain (yang sahih), bukan hanya dengan hadith yang tidak jelas status kesahihannya.” [6]


Ada dua perkara berharga yang bisa kita ambil dari penjelasan Syaikhul Islam di atas.

- Pertama, tidak boleh menggunakan hadith maudhu’ (hadith palsu yang berisi perawi pendusta) dalam masalah targib dan tarhib.

- Kedua, hadith dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam beramal, hendaknya memiliki landasan dari hadith sahih lainnya. Sehingga sebenarnya yang kita amalkan adalah hadits shahih dan bukan hadits dhoifnya.


Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadith lainnya dengan sanad yang dho’if yang membicarakan masalah fadhilah amal, maka hadits tersebut bisa diriwayatkan asalkan hadithnya bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perawi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk beramal, pen) tidak diketahui ukuran pastinya. Oleh karenanya, jika dalam masalah ukuran pahala diriwayatkan dengan hadith yang dho’if selama bukan hadith yang dusta (hadith maudhu’), maka hadith semacam ini tidak dikatakan dusta. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan meriwayatkan hadith dhoif dalam masalah fadhoil a’mal. Adapun jika suatu amalan dikatakan sunnah berdasarkan hadith dho’if (semata), maka beliau menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.”[7]


Beliau menjelaskan pula, “Jika hadith dho’if tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu –seperti disebutkan solat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau tata cara tertentu-, maka hadith semacam ini tidak boleh diamalkan. Karena tata cara amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal ini berbeda halnya jika diriwayatkan suatu hadith yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah”, maka pahalanya sekian dan sekian, maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya zikir kepada Allah di pasar disunnahkan karena ini termasuk amalan yang dilakukan di saat kebanyakan orang sedang lalai.”[8]


Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat bagus dalam perkataan selanjutnya,

. فَالْحَاصِلُ : أَنَّ هَذَا الْبَابَ يُرْوَى وَيُعْمَلُ بِهِ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ لَا فِي الِاسْتِحْبَابِ ثُمَّ اعْتِقَادُ مُوجِبِهِ وَهُوَ مَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ يَتَوَقَّفُ عَلَى الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ .

“Intinya, hadith dho’if bisa diriwayatkan namun dalam masalah targhib dan tarhib saja. Hadith dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya suatu amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau akibat buruk dari suatu amalan jelek, maka cukup dalil syar’i (yang sahih) yang jadi pegangan. ”[9]



Sikap yang Lebih Hati-Hati

Sebagian ulama bersikap bahwa hadith dho’if tidak boleh digunakan secara mutlak kecuali jika ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk memotivasi pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan yang jelek sebenarnya sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Demikian sajian kami saat ini. Semoga bermanfaat.


Hasil penulisan Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.muslim.or.id


[1] Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi, 1/51, Mawqi’ Ya’sub.

[2] Shahih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, 1/21, Darul Jail-Darul Afaq.

[3] Syarh ‘Ilal At Tirmidzi, 1/ 373.

[4] Tadribur Rowi, 1/252.

[5] Shahih At Targhib wa At Tarhib 67-1/47.

[6] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/ 251, Darul Wafa’.

[7] Majmu’ Al Fatawa, 10/408-409.

[8] Majmu’ Al Fatawa, 18/67.

[9] Majmu’ Al Fatawa, 18/6


1 comment:

Anonymous said...

DI KITAB FADHILAH AMAL ADA AMALAN SHOLAT ISROQ YANG SEKARANG DI AMALKAN JUGA OLEH SALAFI