Wednesday, June 30, 2010

Fikih Ciuman


Perlu sekali kita mengenal jenis-jenis ciuman daripada pembahasan berikut ini. Semoga bermanfaat.


Jenis-Jenis Ciuman

Sebagian pakar fikih menyebutkan bahwa ciuman itu ada lima jenis.
a. Ciuman cinta, itulah ciuman kepada anak di pipinya.

b. Ciuman belas kasihan, itulah ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.

c. Ciuman sayang, itulah ciuman kepada saudara di dahinya.

d. Ciuman birahi, itulah ciuman kepada istri atau budak perempuan di mulutnya.

e. Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang beriman.


Sebagian pakar fikih menyebutkan adanya ciuman jenis keenam yaitu ciuman syar’i yang ditujukan kepada hajar aswad. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Hasyiah Ibnu Abidin 5/246 dan al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan 272].



CIUMAN TERLARANG


Ciuman untuk wanita ajnabiah (bukan istri dan bukan mahram)

Seluruh pakar fikih bersepakat bahwa sentuhan dan ciuman kepada wanita ajnabiah adalah terlarang meski dalam rangka meminang wanita tersebut [Ibnu Abidin 5/233, 234 dan 237, Jawahir al Iklil 1/275, al Qalyubi 3/208, Nihayah al Muhtaj 6/190, Kasyaf al Qana’ 5/10 dan al Mughni 6/553 dan halaman selanjutnya].



Ciuman kepada amrad (laki-laki yang tidak berjenggot)

Jika amrad tersebut bukan ‘baby face’ maka statusnya sebagaimana umumnya laki-laki. Sehingga seorang laki-laki boleh menciumnya dalam rangka mengucapkan kata perpisahan karena hendak bepergian atau dengan maksud mengungkapkan rasa sayang asalkan tanpa birahi.


Namun jika amrad tersebut ‘baby face’ yang menimbulkan syahwat maka statusnya sebagaimana wanita bagi laki-laki yang lain. Sehingga seorang laki-laki tidak boleh berjabat tangan, mencium dan memeluknya jika dengan maksud mencari ‘kenikmatan’. Demikian pendapat mayoritas ulama pakar fikih. [Ibnu Abidin 5/233, al Zarqani 1/167, Jawahir al Iklil 1/20, 275, al Jamal 4/126, Hasyiah al Qalyubi 2/213 dan Kasyaf al Qana’ 5/12-15].



Laki-laki mencium laki-laki, perempuan mencium sesama perempuan

Tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk mencium mulut, tangan ataupun anggota badan sesama laki-laki jika dengan syahwat. Demikian pula ciuman, pelukan dan sentuhan badan di antara sesama perempuan jika diiringi syahwat.


Hal di atas adalah hukum yang tidak diperselisihkan oleh para ulama fikih dikarenakan ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang pelukan dan ciuman. [Hadits di atas disebutkan oleh al Harawi dalam Gharib al Hadits 1/171 dari ‘Iyyasy bin Abbas secara mursal]


Ų£Namun jika ciuman tersebut tidak pada mulut dan sebagai ungkapan penghormatan dan bakti atau untuk mengungkapkan rasa sayang saat bertemu ataupun berpisah maka hukumnya adalah boleh. [Ibnu Abidin 5/244, 246, al Binayah ‘ala al Hidayah 9/326, 327, Jawahir al Iklil 1/20, al Qolyubi 3/213 dan Hasyiah al Jamal ‘ala Syarh al Minhaj 4/126].



Mencium tangan orang yang zalim

Para ulama pakar fikih menegaskan tentang tidak bolehnya mencium tangan orang yang zalim (semisal polisi yang zalim dst, preman dll, pent). Para ulama fikih mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat kecuali dalam kondisi khawatir dizalimi jika tidak mencium tangannya.


Penulis kitab ad Durr mengatakan, ‘Tidak ada keringanan dalam mencium tangan seorang yang bukan ulama dan bukan orang yang shalih. Makruh hukumnya apa yang dilakukan oleh orang-orang awam yang mencium tangannya sendiri ketika berjumpa dengan orang lain. Demikian pula makruh hukumnya mencium tangan teman sendiri ketika berjumpa jika teman tersebut bukanlah seorang ulama ataupun orang yang shalih dan bukan karena maksud dengan menghormatinya atau menghormati statusnya sebagai seorang muslim. [ad Durr al Mukhtar dan Hasyiah Ibnu Abidin 5/245, 246, al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan Tuhfah al Ahwadzi 7/527].



Mencium tanah di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan.

Mencium (baca: meletakkan mulut) di tanah (bukan, sujud-pent) di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan hukumnya haram. Pelaku dan orang yang rela diperlakukan demikian itu berdosa karena perbuatan ini menyerupai penyembahan terhadap berhala.


Apakah orang yang melakukannya menjadi kafir?

Perlu rincian:

a. Jika dalam rangka beribadah dan mengagungkkan orang yang ada di hadapannya maka pelakunya menjadi kafir.

b. Jika dengan maksud memberikan penghormatan maka tidak menjadi kafir, namun pelakunya berdosa karena telah melakukan dosa besar.

Rincian ini ditegaskan oleh penulis kitab ad Durr. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Ibnu Abidin 5/246 dan al Binayah Syarh al Hidayah 9/326 dan 327].



Sumber: Al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah juz 13 hal 129-131

Cetakan kelima 1427 H, terbitan Depag Kuwait.



Daripada artikel www.ustadzaris.com



Tuesday, June 29, 2010

Wanita dan wangi wangian



Wanita muslimah hendaknya mengetahui bahwa minyak wangi (perfium) merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun bagi wanita, yang secara mutlak diperbolehkan bagi orang laki-laki dan pada waktu-waktu tertentu disunnahkan.


Sedangkan bagi wanita diberikan keringanan untuk memakainya. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila salah seorang di antara kalian menyaksikan waktu Isya' -dalam sebuah riwayat disebutkan : masjid- maka hendaklah dia memakai wangi-wangian pada malam itu". [Hadits Riwayat Muslim]


Juga sabdanya.

"Artinya : Setiap wanita mana saja yang terkena bau wangi, maka hendaklah dia tidak mengerjakan shalat Isya' bersama kami". [Hadits Riwayat Muslim]


"Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti dia telah berzina". [Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414) Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (4173). Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais dari Abu Musa Al-Asy'ari]


Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "maka hendaklah dia tidak memakai wangi-wangian pada malam itu" secara jelas membolehkan wanita memakai wangi-wangian di dalam rumah mereka selama baunya tidak tercium oleh laki-laki yang bukan muhrim.


Dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Mandi pada hari jum'at wajib bagi setiap orang yang bermimpi, juga bersiwak, dan memakai minyak wangi secukupnya".


Dari Zainab bin Abi Salamah Radhiyallahu 'anha, dia menceritakan tentang hadits tiga orang ini. Zainab binti Abi Salamah berkata.


Aku pernah mendatangi Ummu Habibah, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada saat ayahnya, Abu Sufyan bin Harb meninggal dunia, lalu dia meminta diambilkan minyak wangi yang berwarna kuning, lalu seorang hamba sahaya wanita memakaikan dan mengusapkan ke jambangnya, kemudian berkata : "Demi Allah, sebenarnya aku tidak memerlukan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".


Selanjutnya Zainab berkata. "Kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy pada saat saudaranya meninggal. lalu dia mengambil minyak wangi dan memakainya, kemudian berkata : "Demi Allah, sebenarnya aku tidak memerlukan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".


Lebih lanjut Zainab menceritakan : Dan aku juga pernah mendengar Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha berkata. "Ada seorang wanita yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya bertutur. "Wahai Rasulullah, putriku telah ditinggal mati suaminya dan ketika dia sakit mata, apakah boleh aku mencelakinya ?. "Tidak", jawab Rasulullah. Ketika pertanyaan itu diulang sampai dua tiga kali tetap dijawab tidak, oleh beliau. Kemudian beliau bersabda. "Sesungguhnya hanya empat bulan sepuluh hari padahal dulu di masa jahiliyah membuang kotoran unta (yakni membuang sial) hanya sesudah satu tahun".


Hummaid berkata, "Maka aku bertanya kepada Zainab bagaimana membuang kotoran unta sesudah satu tahun itu ?. Zainab menjawab. "Seorang wanita apabila ditinggal mati suaminya lalu ke sepen (bilik kecil di belakang rumah) dan memakai baju yang paling buruk dan tidak boleh mengenakan wangi-wangian selama satu tahun, dan sesudah satu tahun dibawakan kepadanya keldai atau kambing atau burung. Kemudian dia bersihkan badannya dari semua kotoran dengan menggunakan binatang tersebut dan jarang sekali binatang yang digunakan untuk membersihkan badannya itu dapat hidup, yakni segera mati. Selanjutnya dia keluar dari sepen tersebut lalu diberikan kotoran unta untuk dilemparkannya, lalu kembali seperti biasa mengenakan wangi-wangian dan lain sebagainya".


Malik ditanya : "Bagaimana cara membersihkan hal itu ?. Dia menjawab. "Mengusap-usapkan badannya ke binatang itu". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaihi].


Semua hadits di atas secara jelas membolehkan wanita memakai wangi-wangian, tidak mutlak. Karena seperti yang telah kami uraikan sebelumnya bahwa minyak wangi merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kaum wanita untuk tidak memperlihatkan perhiasan mereka kepada laki-laki yang bukan muhrimnya, dimana Dia berfirman.

"Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami, ayah mereka, ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan jangan mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung". [An-Nuur : 31]


Tidak diragukan lagi bahwa minyak wangi merupakan salah satu macam dari perhiasan yang tidak diperbolehkan untuk diperlihatkan kepada orang-orang yang bukan muhrimnya, sebagaimana telah ada larangan bagi wanita pergi ke masjid dengan memakai minyak wangi. Dan ancaman bagi wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi supaya orang laki-laki mencium baunya sungguh sangat berat.


Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti dia telah berzina". [Hadits ini Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414). Juga diriwayatkan Abu Daud (4173). Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais, dari Abu Musa Al-Asy'ari]


Oleh karena itu wanita Muslimah diberikan untuk memakai wangi-wangian di dalam rumah dengan syarat tidak tercium oleh orang-orang yang bukan muhrimnya, karena wangi-wangian itu dapat membangkitkan nafsu birahi dalam diri mereka, selain karena wangi-wangi itu juga termasuk perhiasan yang apabila diperlihatkan akan mamancingkan timbulnya perzinaan.


Hal ini terlihat pada apa yang dikandung dalam hadits berikut ini.

"Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, sesungguhnya dia tidak pernah menolak minyak wangi. Dan dia merasa yakin bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak menolak minyak wangi". [Hadits Riwayat Bukhari]


Apabila seorang wanita hendak pergi ke masjid atau untuk beberapa keperluan, maka hendaklah dia tidak memakai minyak wangi. Dan apabila telah terlanjur mamakainya di rumah sedang dia harus pergi ke suatu tempat maka dia harus membersihkan diri sehingga bau minyak wangi itu tidak tercium".


[Telah disebutkan dalam sebuah hadits dha'if dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda: "Apabila seorang wanita akan pergi ke masjid maka hendaklah dia mandi membersihkan diri dari minyak wangi seperti dia mandi janabah". Diriwayatkan oleh Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Shafwan bin Salim, dari seorang yang dapat dipercaya, dari Abu Hurairah. Mengenai hal ini penulis . 'Perawi hadist ini dari Abu Hurairah mubham (tidak jelas), meskipun didukung oleh Shaewan bin Salim. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam bukunya Al-Musnad (11/297, 444,461) melalui Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaid Maula, dari Abu Hurairah. Ashim bin Ubaidillah adalah orang yang dha'if. Dan seperti yang kami sebutkan, dia tidak dapat dijadikan pegangan dalam hadits ini. Seperti yang diketahui, kebanyakan minyak wangi akan hilang dengan siraman air, dan itu tidak lain kecuali dengan mandi].


Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin Abdul Mun'in

Terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.



Wednesday, June 23, 2010

Mengapa kami memilih ISLAM - Navis B. Jolly



Saya lahir dalam lingkungan masyarakat Kristen, dan saya dibaptis dalam Gereja Inggris serta mengikuti sekolah Gereja, di mana sewaktu saya masih berumur belasan tahun telah membaca kisah Yesus Kristus, seperti yang terdapat dalam Injil-injil. Hal itu menumbuhkan pengaruh emosional yang mendalam pada jiwa saya, seperti juga saya merasakan hal yang sama pada waktu setiap kali saya datang ke Gereja, melihat altar yang tinggi yang dipenuhi dengan lilin menyala, kemenyan dan para pendeta dengan selendang-selendang adatnya, dan saya mendengar nyanyian misterious di waktu sembahyang.

Saya yakin bahwa pada tahun-tahun yang hanya sebentar itu, saya adalah seorang Kristen yang bersemangat. Kemudian seiring dengan kemajuan saya dalam belajar dan hubungan saya yang tetap dengan Injil serta segala sesuatu yang bersangkutan dengan ke-Kristenan, terbentanglah luas di hadapan saya kesempatan berfikir mengenai apa yang saya baca dan saya saksikan, mengenai apa yang saya lakukan dan saya percayai. Segeralah saya mulai merasa tidak puas mengenai beberapa hal. Pada waktu itu juga saya meninggalkan sekolah gereja dan saya menjadi seorang atheis tulen, tidak mau percaya kepada agama.

Tapi kemudian saya mulai lagi mempelajari agama-agama lain yang penting-penting di dunia. Saya mulai mempelajari agama Buddha. Saya pelajari dengan sungguh-sungguh itu jalan yang delapan, dan ternyata memang tujuannya baik, tapi kurang memberi petunjuk dan kurang terperinci.

Dalam agama Hindu saya dihadapkan bukan hanya kepada tiga, tetapi kepada beberapa ratus Tuhan yang masing-masing memiliki kisah sejarah yang sangat fantastik dan tidak mungkin bisa diterima oleh akal saya.

Kemudian saya membaca sedikit tentang agama Yahudi, tapi sebelum itu saya telah cukup banyak membaca tentangnya dalam Perjanjian Lama yang menunjukkan bahwa agama Yahudi itu tidak dapat memenuhi beberapa nilai yang mesti dimiliki oleh sesuatu agama.

Dengan bimbingan seorang sahabat, saya mulai mempelajari soal-soal ilmu kerohanian, dan untuk itu saya harus menghadiri majlisnya yang dikuasai oleh roh-roh orang yang sudah mati. Tapi saya tidak meneruskan praktek ini lebih lama, karena saya yakin sepenuhnya bahwa hal itu tidak lebih dari sekedar dorongan kejiwaan, dan saya menjadi takut untuk melanjutkannya.

Sehabis perang dunia, saya berhasil mendapat pekerjaan pada sebuah pejabat di London. Akan tetapi pekerjaan itu tidak mengurangi perhatian saya terhadap soal-soal agama. Pada suatu hari sebuah surat kabar tempatanl memuatkan sebuah artikel yang saya sanggah dengan sebuah tulisan, yaitu mengenai ketuhanan Yesus sebagaimana tersebut dalam Injil. Sanggahan saya itu menghasilkan banyak hubungan antara saya dengan para pembaca yang di antaranya terdapat seorang Muslim. Mulai saya berbicara dan berdiskusi tentang Islam dengan kenalan saya yang baru ini. Dan pada setiap tinjauan saya tentang macam-macam segi dari agama ini saya terjatuh. Walaupun saya fikir hal itu tidak mungkin, saya harus mengakui bahwa yang sempurna telah sampai kepada kita melalui seorang manusia biasa, sedangkan pemerintah-pemerintah yang paling baikpun di abad ke-20 ini tidak mampu melebihi perundang-undangan yang diberikan wahyu itu, bahkan negara-negara maju itu selalu mengutip susunannya dari susunan Islam.

Pada waktu itu saya bertemu dengan beberapa orang kaum Muslimin dan beberapa orang gadis Inggris yang meninggalkan agama mereka (Kristen) dan dengan segala kemampuan mereka membantu saya dalam mengatasi segala kesulitan yang saya hadapi. Hal itu terjadi kerana memang kami muncul/lahir dalam satu lingkungan. Tenaga/ bantuan mereka dicurahkan tanpa penat jerih.

Saya telah membaca banyak buku-buku. Saya ingat di antaranya ialah buku "The Relegion of Islam", "Mohammad and Christ" dan "The Sources of Christianity". Buku yang terakhir ini banyak menunjukkan persamaan antara agama Kristen dan cerita-cerita khayal zaman penyembahan berhala purba. Ini sangat mengesankan saya Yang terpenting dari semua itu ialah bahwa saya telah membaca Al-Qur'an. Pada pertama kali, nampak kepada saya seakan-akan kebanyakan isi Al-Qur'an itu berulang-ulang dan saya belum percaya sepenuhnya atas semua isinya. Akan tetapi saya merasa bahwa isi Al-Qur'an itu telah meresap ke dalam jiwa saya secara sedikit demi sedikit. Selang beberapa malam, saya menemukan keinginan dalam jiwa saya untuk tidak melepaskan lagi Al-Qur'an dari tangan saya. Kebanyakan yang menarik perhatian saya ialah itu persoalan yang ajaib, bagamana bisa terjadi bahwa petunjuk yang demikian sempurna itu sampai kepada alam kemanusiaan melalui manusia yang bersifat kekurangan. Kaum Muslimin sendiri selalu mengatakan bahwa Nabi Muhxtnmad s.a.w. itu manusia biasa.

Sungguh saya mengerti bahwa menurut Islam, Rasul-rasul itu adalah orang-orang yang tidak pernah berbuat dosa dan bahwa wahyu bukan perkara baru, sebab dahulu wahyu pernah diturunkan kepada para Nabi Yahudi dan bahwa Isa (Yesus) adalah Nabi terakhir dari kalangan bangsa Yahudi. Akan tetapi sebuah teka-teki selalu menggoda pikiran saya: Mengapa wahyu itu tidak diturunkan kepada Rasul-rasul abad kedua puluh?! Jawabnya, saya pikir ialah apa yang diterangkan oleh Al-Qur'an bahwa Muhammad s.a.w adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. Hal itu jawaban yang sempurna dan tidak bisa dibantah, karena bagamana bisa jadi diutus lagi Rasul-rasul sesudah Muhammad s.a.w., sedangkan Al-Qur'anul-Majid adalah sebuah Kitab yang lengkap yang menjelaskan segala sesuatu dan membenarkan segala yang ada di hadapan kita, dan bahwa Al-Qur'an itu kekal untuk selama-lamanya tanpa penggantian dan perubahan, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an dan diperkuat dengan kenyataan:

'Sesungguhnya Aku telah menurunkan Al-Qur'an dan Aku menjaganya.' -- Al-Hijr 9.

Tidak bisa diragukan bahwa sesudah itu tidak akan ada kebutuhan lagi kepada Rasul-rasul dan Kitab-kitab baru. Hal itu tertanam kuat dalam lubuk hati saya.

Saya baca bahwa Al-Qur'an itu petunjuk bagi mereka yang berpikir dan Al-Qur'an menantang kepada setiap orang yang ragu-ragu, supaya mereka membuat satu surat saja yang serupa dengan Surat Al-Qur'an:

'Jika kamu berada dalam keraguan mengenai apa yang telah Aku turunkan kepada hamba-Ku, datangkanlah satu surat yang semacamnya dan panggillah berhala-berhala kamu, jika memang kamu benar.' -- Al-Baqarah 23.

Saya berpikir keras, jika ternyata pengaturan Al-Qur'an tentang hidup diberikan kepada seorang yang lahir pada tahun 570 Masehi, maka saya merasa pasti bahwa kita yang hidup pada tahun 1944 ini akan mampu untuk mencapai ajaran yang lebih baik dari itu. Mulailah saya pelajari kemungkinan ini, tapi ternyata saya gagal dalam segala lapangan.

Saya yakin, bahwa saya telah pernah terpengaruh dengan apa yang saya dengar dari atas mimbar-mimbar Kristen yang menentang Islam dalam soal poligami. Saya mengira bahwa saya dapat melancarkan kritik mengenai masalah itu, karena waktu itu saya yakin bahwa teori Barat tentang monogami itu lebih baik dari pada teori kolot yang menyerukan poligami. Soal itu saya bicarakan dengan sahabat saya, orang Islam itu yang dengan kontan mengemukakan bantahan yang meyakinkan bahwa bolehnya poligami itu dalam batas-batas tertentu. Poligami itu hanya satu usaha untuk mengatasi apa yang sekarang terjadi di dunia Barat, yaitu meluasnya hubungan-hubungan gelap antara dua jenis manusia yang berbeda, dalam bentuk yang semakin beraneka-ragam. Keterangan sahabat saya itu diperkuat dengan berita-berita yang tersiar dalam surat-surat kabar yang menjelaskan sedikitnya jumlah orang-orang yang mencukupkan diri dalam praktek dengan satu isteri saja di Inggris.

Saya sendiri melihat bahwa sesudah selesainya perang, jumlah kaum wanita dalam usia tertentu menjadi lebih banyak dari pada pria. Keadaan ini mengakibatkan ,tidak sedikit kaum wanita yang menghadapi kesulitan untuk menemukan kesempatan bersuami. Apakah memang Allah s.w.t. menciptakan wanita semata-mata untuk menghadapi kesulitan?

Saya selalu ingat, bahwa dalam program siaran radio yang dikenal dengan nama "Dear Sir", seorang gadis Inggris yang belum pernah kawin mengajukan tuntutan supaya diadakan undang-undang yang membolehkan poligami. Dia mengatakan bahwa dirinya lebih baik hidup dalam ikatan perkawinan bersama dengan istri-istri lain dari pada hidup menyendiri secara liar yang seolah-olah menjadi ketentuan takdir buat dirinya.

Dalam Islam tidak ada kewajiban berpoligami, tapi jelas bahwa tanda agama yang sempurna itu ialah memberikan kesempatan untuk itu.

Kemudian kepada sahabat saya orang Islam itu saya kemukakan masalah sembahyang wajib yang saya kira merupakan titik kelemahan Islam, sebab melakukan sembahyang berulang-ulang sampai 5 kali itu setiap hari dan malam itu mesti hanya merupakan kebiasaan yang tidak ada artinya. Akan tetapi sahabat saya itu kontan menjawab dengan jelas. Dia berkata: "Bagamana dengan praktek memetik alat-alat musik? Bukankah anda menghabiskan waktu setengah jam setiap hari untuk mengulanginya? Apakah jiwa anda terpengaruh atau tidak? Hal itu pasti hilang keindahannya, jika hanya sekedar kebiasaan saja. Yang mempengaruhi jiwa kita itu ialah pikiran kita tentang apa yang kita kerjakan. Demikian juga halnya dalam soal musik. Sebenarnya, memetik saja tanpa pikiran sudah cukup berpengaruh ke dalam jiwa kita, dari pada tidak memetik sama sekali. Begitu juga dalam hal sembahyang. Melakukan sembahyang tanpa pikiran yang khusyuk saja sudah cukup baik pengaruhnya dalam jiwa kita, dari pada tidak sembahyang sama sekali."

Setiap orang yang mempelajari musik mengakui kebenaran ini. Apalagi jika kita tahu bahwa sembahyang Islam itu hanya berguna bagi orang yang melakukannya sebagai latihan rohani, melebihi hikmah faedahnya yang banyak. Sedangkan Allah Rabbul-'alamin tidak butuh kepada sembahyang makhluk-makhluk ini.

Sesudah itu, mulailah jiwa saya menjadi tenang dan berangsur-angsur dapat menerima kebenaran yang dibawa oleh Islam. Lalu saya umumkan keimanan saya, dan saya memeluk Islam. Saya lakukan itu dengan penuh kepuasan, dan saya buktikan bahwa hal itu bukan sekedar tindakan emosional, tapi hasil pemikiran yang lama, terakhir hampir menghabiskan waktu dua tahun, selama mana saya berusaha melawan segala hawa nafsu yang selalu ingin membelokkan saya ke jalan yang lain.



Oleh: Rabithah Alam Islamy Mekah
Alih bahasa: Bachtiar AffandieCetakan Ketiga 1981
Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung