Tuesday, January 25, 2011

Buah Daripada Kesabaran



Guru dari guru kami[1] seorang ulama dan sejarawan besar Syaikh Muhammad Raghib At-Tabbakh rahimahullah, menyebutkan kisah ini di dalam bukunya I’lam an-Nubaala bi Taarikh Halaab Ash-Shuhaaba (7/231).

Syaikh Ibrahim Al-Hilali Al-Halabi – seorang ulama yang shalih dan mulia, pergi ke Universita Al-Azhar untuk menuntut ilmu. Ketika menuntut ilmu, dia menjadi sangat miskin dan biasa bergantung pada sedekah. Suatu ketika, beberapa hari telah berlalu dan dia tidak menemukan sesuatu pun untuk dimakan, yang membuatnya menjadi sangat lapar.

Maka ia keluar dari kamarnya di Al-Azhar untuk meminta sedikit makanan. Dia menemukan sebuah pintu terbuka yang darinya keluar bau makanan sedap. Maka dia pun melewati pintu dan mendapati dirinya berada di sebuah dapur yang kosong. Disana dia menemukan makanan yang mengundang selera, lalu ia mengambil sendok dan memasukkannya ke dalam makanan, tetapi ketika ia mengangkat sendok tersebut ke mulutnya, dia terdiam sejenak karena kemudian dia menyadari bahwa dia tidak mendapatkan izin untuk memakan makanan tersebut. Maka dia pun meninggalkannya kembali ke kamar asrama Al-Azhar, tetap merasa kelaparan. Tidak sampai satu jam berlalu, salah seorang gurunya, ditemani oleh seorang laki-laki, datang ke kamarnya. “Orang yang baik ini datang kepadaku untuk mencari penuntut ilmu yang shalih yang akan dinikahkan dengan puterinya, dan saya telah memilihmu untuknya. Bangkitlah dan ikutilah bersama kami ke rumahnya dimana kita bisa melangsungkan pernikahan antara kamu dengan puterinya, dan kamu dapat menjadi bagian dari rumahnya.” Maka Syaikh Ibrahim pun berusaha bangkit dari tidurnya, mentaati perintah gurunya dan pergi bersama mereka. Dan kemudian mereka membawanya terus ke rumah yang sama, rumah yang dimasukinya dan memasukkan sendok ke dalam makanannya.

Setelah dia duduk, sang ayah lalu menikahkan dia dengan anak perempuannya dan kemudian makanan pun dibawa keluar. Itu adalah makanan yang sama yang dia masukkan sendok ke dalamnya sebelumnya, makanan yang dia tinggalkan. Namun kini dia makan darinya: ”Saya menahan diri dari memakannya karena saya tidak mendapatkan izin, namun sekarang Allah telah memberikan makanan ini dengan seizin pemiliknya.”

Inilah buah kesabaran, dan akibat dari ketakwaan, sebagaimana Allah berfirman:

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq :2-3)

Namun bagi mereka yang tergesa-gesa – mereka yang tidak membedakan antara kebenaran dan kedustaan, mencari kehidupan dunia fana yang sia-sia- mereka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kesedihan dan penyesalan dalam hatinya, karena mereka tidak akan pernah mendapatkan kehidupan dunia, dan tidak juga mereka berhasil dalam pencapaian agama.

Hal ini karena mereka lupa – atau mungkin mengabaikan – firman Allah:

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS Az Zumar : 36)

Bagi mereka yang bersabar dan istiqamah dan yang memiliki ketakwaan, mereka akan menguasai kehidupan dunianya dan kemuliaan dan kehormatan bersama Tuhannya pada hari pengadilan.

Dan Allah berfirman: “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah : 155).

Dan Dia berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar : 10)


Oleh : Syaikh Ali Hasan Al-Halabi

____________

Catatan kaki:

[1] Penulis merujuk kepada Syaikh Al-Albani, murid dari Syaikh Muhammad Raaghib At-Tabbaakh.

Sumber: Al-Ibaanah.Com


“Barangsiapa yang Meninggalkan Sesuatu Karena Allah, Niscaya Allah akan Menggantikan dengan sesuatu yang Lebih Baik Darinya.”

Monday, January 24, 2011

Hidup Untuk Mati atau Mati Untuk Hidup


Kematian adalah sebuah kenyataan keras dan menakutkan yang akan dihadapi tiap-tiap yang bernyawa. Tidak seorang pun mempunyai kekuatan untuk menghindarinya, dan tidak juga seorang pun yang berada disekitar orang yang sedang sekarat memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Kematian adalah sesuatu yang (dapat) terjadi setiap saat dan yang merupakan sesuatu yang menimpa orang tua maupun muda, kaya ataupun miskin, yang kuat maupun yang lemah,. Mereka semuanya sama bahwa mereka tidak mempunyai rencana, dan juga tidak dapat lepas darinya, tidak ada jalan syafaat, tidak ada jalan untuk menghindarinya, atau menundanya.[1]

Allah Jalla wa ‘Al
a berfirman:

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS Al-Jumu’ah [62] : 8)

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenarbenarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS Al-Anbiya [21] : 34-35)

Sungguh itulah kematian: “yang menimbulkan ketakutan pada jiwa, dan dengannya amalan seseorang ditutup, dan apa yang datang setelahnya bahkan lebih menakutkan dan mengerikan. Adakah tempat seseorang berlari untuk lepas dari sesaknya himpitan kubur? Apa yang akan kita jawab ketika kita ditanyai di dalam kubur? Sungguh, tak seorang pun diantara kita mengetahui kemana akhir kita kelak. Akankah itu Surga yang seluas langit dan bumi, ataukah Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu?”[2]



Ibrahim bin Adam rahimahullah (wafat 160 H) berkata, ketika dia ditanya tentang ayat: “Berdoalah kepadaku niscaya akan Ku-perkenankan bagimu” (QS Al-Mu’min [40] : 60). Mereka berkata, “Kami berdoa kepada Allah, namun Dia tidak mengabulkannya.” Maka beliau berkata:

“Engkau mengenal Allah, namun engkau tidak mentaati-Nya. Engkau membaca Al-Qur’an namun engkau tidak bertindak sesuai dengannya, engkau mengetahui Syaithan, namun engkau terus mengikutinya. Engkau menyatakan mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, namun engkau meninggalkan sunnahnya. Engkau berkata engkau mencintai Surga namun engkau tidak berusaha untuk mencapainya. Engkau berkata engkau takut kepada Neraka, namun engkau tidak berhenti berbuat dosa. Engkau berkata: “Sungguh kematian adalah benar adanya, namun engkau tidak bersiap-siap menghadapinya. Engkau menyibukkan dirimu dengan kesalahan orang lain, namun engkau tidak melihat kesalahan-kesalahan dirimu sendiri. Engkau makan (dari) rezeki yang diberikan Allah kepadamu, namun engkau tidak bersyukur kepada-Nya. Engkau menguburkan kematian (yang mati –pent), namun engkau tidak mengambil pelajaran.[3]

Karenanya, ini, wahai pembaca yang mulia, adalah sesuatu yang harus kita tanamkan dengan kuat di dalam hati, kenyataan bahwa kehidupan di dunia ini terbatas dan memiliki akhir yang telah ditentukan, dan akhir ini pasti akan datang.

“Orang-orang shalih akan mati. Dan orang-orang jahat akan mati. Pejuang yang berjihad akan mati. Dan mereka yang tinggal di rumah akan mati. Mereka yang menyibukkan diri dengan keimanan yang benar akan mati. Dan mereka yang memperlakukan manusia layaknya budak-budak mereka akan mati. Pemberani yang menolak ketidakadilan akan mati. Dan pengecut yang mencari perlindungan dengan bergantung pada kehidupan yang buruk ini akan mati. Orang-orang dengan tujuan dan cita-cita yang mulia akan mati. Dan orang-orang malang yang hidup untuk kesenangan yang murah akan mati.”[4]

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS Al-Imran [3] : 185)

“Maka ingatlah selalu akan kematian, dan bahwa seseorang akan menuju pada kehidupan berikutnya, dan banyaknya dosa yang telah dilakukan seseorang dan sedikitnya amal kebaikan yang dilakukan seseorang. Pikirkanlah akan kebaikan-kebaikan yang sangat ingin anda lakukan pada saat itu – dan bawalah hal itu kepada hari ini. Dan pikirkanlah tentang perkara-perkara yang ingin engkau bersih daripadanya, maka bersihkanlah dirimu dari sekarang.”[5]

______________

Catatan kaki:

[1] Al-Maut (hal. 9), Syaikh Ali Hasan Al-Halabi

[2] As-Salat wa Atharahu fi Ziyadatil Iman (hal 10), Syaikh Husain Al-Awaishah

[3] Al-Hafizh Ibnu Rajab di dalam al-Khusu fis-Salah (hal. 62)

[4] Al-Maut (hal 10)

[5] Al-Maut (hal. 16)


Sumber diperoleh daripada sunnahonline.com