Tuesday, April 27, 2010

Tahlilan Dalam Timbangan Islam


Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.


Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual kebiasaan yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia (mahupun Malaysia-tambahan penulis) untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.


Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.


Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekadarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.


Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.


Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.


Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):


“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)



Asal Usul Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?


Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.


Dari aspek asal usul ini kita akan mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.



Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.


Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara asal usul acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.


Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.



1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?


Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):


“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)


Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)


Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak perlu ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.


Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)


Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):


“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)


Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.


Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.


Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)


Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)


Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

Fal Ashlu fil 'Ibadaati Al-Buthlani hatta yaquma dalilun 'alal amr

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”


Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:


“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.


Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):


“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).



2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata:


“Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)


Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)


Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).


Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?


Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:


“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)


Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.


Disunting daripada kumpulan artikel aqidah daripada buletib al-ilmu jember, sumber:www.assalafy.org



Monday, April 26, 2010

Pentingkan Agama Dalam Pemilihan..



Para pendahulu kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita- wanita yang di bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka kepada seorang yang shalih.


Al-Qur’an yang mulia telah berkisah tentang tawaran seorang lelaki tua yang shalih di negeri Madyan kepada Nabi Musa 'alaihissalam agar bersedia menikahi salah seorang putrinya:


وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ. قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِينُ. قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِينَ. قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا اْلأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلاَ عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ


“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternak mereka) dan di belakang orang banyak itu, ia dapati dua orang wanita yang sedang menghambat (ternak mereka). Musa bertanya, ‘Ada apa dengan kalian (hingga tidak ikut meminumkan ternak sebagaimana mereka)?’ Kedua wanita itu berkata, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.’ Maka Musa menolong kedua wanita tersebut dengan memberi minum ternak keduanya. Setelahnya, ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita tadi, ia berjalan dengan malu-malu. Ia berkata, ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas (kebaikan)mu memberi minum ternak kami.’ Tatkala Musa menemui ayah si wanita dan menceritakan kisah dirinya, ayah si wanita berkata, ‘Janganlah engkau takut. Engkau telah selamat dari orang- orang yang zalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, ambillah orang itu sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sebaik-baik orang yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkatalah ayah si wanita kepada Musa, ‘Sungguh aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sampai sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu karena aku tidak ingin memberatkanmu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’. Dia (Musa) berkata: ‘Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan’.” (Al- Qashash: 23-28)


Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa lelaki ini. Ada beberapa pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan lelaki itu adalah Nabi Syu’aib 'alaihissalam yang diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada penduduk Madyan. Inilah yang masyhur menurut kebanyakan ulama. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu dan selainnya berpendapat demikian.


Pendapat lain mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah saudara Nabi Syu’aib. Adapula yang berpendapat dia adalah lelaki mukmin dari kaum Syu’aib. Yang lain mengatakan, Syu’aib diutus pada masa yang jauh dari zaman Musa 'alaihissalam, karena Syu’aib berkata kepada kaumnya:


وَمَا قَوْمُ لُوْطٍ مِنْكُمْ بِبَعِيْدٍ


“Tidaklah kaum Luth berada jauh dari kalian.” (Hud: 89)


Sementara masa kebinasaan kaum Luth terjadi di zaman Nabi Ibrahim 'alaihissalam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an. Dan diketahui bahwa jarak antara masa Nabi Ibrahim dengan Nabi Musa amatlah jauh, lebih dari 400 tahun, sebagaimana disebutkan lebih dari seorang ulama. Termasuk yang memperkuat pendapat bahwa lelaki itu bukanlah Nabi Syu’aib adalah seandainya benar dia Nabi Syu’aib niscaya Al- Qur`an akan menyebut namanya dalam ayat tersebut. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/110)


Lihat pula apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ketika putrinya Hafshah radhiyallahu 'anha menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi radhiyallahu 'anhu di Madinah, ‘Umar radhiyallahu 'anhu mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu yang belum lama ditimpa musibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “

“Iya,” jawab Umar.

“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)


Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah, yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita, “Aku biasa duduk di majlis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku tidak hadir dari majlisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana engkau?”

“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.

“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenazahnya?” tanya Sa’id.

Setelah beberapa lama berada dalam majlis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id menanyakan dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang baru?”

“Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali wang sebanyak dua atau tiga dirham?” jawabku.

“Aku orangnya,” kata Sa’id.

“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku

“Iya,” jawab Sa’id.

Ia pun memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba- tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.

“Sa’id,” jawab si pengetuk.

Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid [Karena Sa’id memakmurkan hari-harinya untuk memberikan pengajaran ilmu kepada manusia di rumah Allah Subhanahu wa Ta'ala]. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”

“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.

“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.

“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”


Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)


Dari kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan atau saudara wanita kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!


Wallahu a’lam bish-shawab.



Suntingan penulisan Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dalam Indahnya Pernikahan Islami dalam bentuk CHM..




Thursday, April 22, 2010

Berhentilah Daripada Merokok Saudaraku..



Apakah anda termasuk penggemar rokok? Baiklah, sebelum anda menerobos saku anda dan mengambil wang untuk membeli rokok marilah kita berbicara barang sejenak dengan akal yang jernih dan fikiran yang tenang mengenai hal ini. Jangan sampai anda melakukan sesuatu yang justru membahayakan diri anda dan juga orang-orang di sekitar anda.


Berbicara soal rokok, ada beberapa hal yang perlu kita fikirkan:



Pertama: Merokok itu tidak penting

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting baginya.” (HR. Tirmidzi [2239] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2317] as-Syamilah). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Kesimpulan tersirat dari hadits ini adalah orang yang tidak meninggalkan perkara yang tidak penting baginya adalah orang yang jelek keislamannya.” (ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 116).


Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau mengatakan, “Salah satu tanda Allah telah berpaling meninggalkan seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan dia sibuk dalam hal-hal yang tidak penting baginya.” (ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 115).


Menjaga kesihatan merupakan perkara penting bagi setiap muslim. Orang yang dengan sengaja merusak kesihatannya telah melakukan sesuatu yang tidak penting dan bahkan menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Padahal, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Qs. al-Baqarah: 195)


Di sisi lain, orang yang merosakkan kesihatannya sendiri, maka dia telah menyia-nyiakan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Ada dua buah nikmat yang banyak manusia rugi karena tidak bisa menggunakannya iaitu; kesihatan dan waktu lapang.” (HR. Bukhari [6412] dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Hadits ini menunjukkan bahwa kesihatan merupakan nikmat dari Allah, oleh sebab itu kita harus mensyukuri nikmat tersebut.


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (Qs. al-Baqarah: 152). Syukur adalah mengakui dengan hati kita bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah, memuji Allah dengan lisan, kemudian menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Apakah merokok termasuk maksiat, nanti akan kita bicarakan! Yang jelas semua orang -yang masih sehat akalnya- bahkan para doktor dan pemerintah sekalipun mengakui bahwa merokok merugikan kesihatan.



Kedua: Merokok menyia-nyiakan harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah membenci untuk kalian; menyebarkan berita yang tidak jelas, terlalu banyak bertanya yang tidak perlu, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim [3236] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, as-Syamilah). Yang dimaksud menyia-nyiakan harta adalah menggunakan harta untuk keperluan yang tidak dibenarkan oleh syari’at, demikian keterangan an-Nawawi rahimahullah (Syarh Muslim [6/144] as-Syamilah).


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan tabdzir itu adalah saudara-saudara syaitan, sedangkan syaitan adalah makhluk yang senantiasa kufur kepada Rabbnya.” (Qs. al-Israa’ : 27). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Tabdzir adalah membelanjakan harta bukan dalam perkara yang haq.” Ibnu Abbas juga mengatakan demikian. Qatadah mengatakan, “Tabdzir adalah membelanjakan harta untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala, untuk keperluan yang tidak benar atau untuk mendatangkan kerusakan.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/53)


Keterangan di atas menunjukkan bahwa orang yang membelanjakan hartanya untuk keperluan yang sia-sia, menimbulkan kerusakan, atau dalam rangka bermaksiat pada hakikatnya sedang menjalin ukhuwah syaithaniyah. Padahal kita semua tahu bahwa syaitan adalah musuh kita, lalu bagaimana mungkin kita menjadikannya sebagai saudara? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syaitan adalah musuh kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya dia hanya mengajak kaum pengikutnya agar mereka menjadi penghuni-penghuni neraka.” (Qs. Fathir: 6)


Belum lagi kalau kita perhatikan di antara sekian banyak punca kebakaran ternyata sumbernya adalah puntung rokok dari ’saudara syaitan’ yang tidak bertanggung jawab! Sungguh bijak para pengelola POM bensin, pemilik Rumah Sakit, dan takmir masjid yang dengan terus terang mengatakan kepada para pengunjung bahwa merokok itu dilarang, dan tidak ada seorang pegunjung pun yang memprotes mereka! Karena mereka sama-sama sepakat bahwa api rokok adalah sumber kebinasaan!



Ketiga: Bau menjijikkan dan asap yang mengganggu kesehatan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah orang yang membuat kaum muslimin yang lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” (HR. Bukhari [10] dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya (atau beliau mengatakan; tetangganya) sebagaimana yang dicintainya bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari [13] dan Muslim [45] dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu). Di dalam riwayat Nasa’i dengan tambahan keterangan yaitu, “[berupa] kebaikan.” (HR. Nasa’i [4931] as-Syamilah)


Menjelang wafatnya, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkhutbah di hadapan para sahabat, di antara isi ceramahnya, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian biasa memakan dua jenis tanaman yang tidak sedap baunya yaitu bawang merah dan bawang putih. Sungguh dahulu aku melihat apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati bau kedua tanaman itu pada [mulut] salah seorang yang ada di masjid maka beliau menyuruhnya untuk keluar ke Baqi’. Maka barangsiapa di antara kalian yang ingin memakannya hendaklah dia memasaknya terlebih dulu (agar berkurang baunya, pent).” (HR. Muslim [567] dari Ma’dan bin Abi Thalhah).


an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sayuran ini -yaitu bawang dan semacamnya- adalah halal berdasarkan ijma’ para ulama yang diakui pendapatnya.” (Syarh Muslim [3/366]). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakan jenis tanaman yang menjijikkan ini maka janganlah dia mendekati kami di masjid.” Setelah mendengar ucapan itu para sahabat mengatakan, “Makanan itu diharamkan, iya diharamkan.” Kemudian sampailah ucapan mereka itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun bersabda, “Hai umat manusia, sesungguhnya aku tidak berhak mengharamkan apa yang Allah halalkan untukku, hanya saja aku tidak menyukai bau tanaman itu.” (HR. Muslim [565] dari Abu Sa’id).


Nah, lihatlah wahai saudaraku, kalau sesuatu yang halal saja -seperti bawang- dapat memunculkan rasa tidak suka pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam gara-gara baunya yang tidak sedap, lantas bagaimana lagi dengan sesuatu yang membahayakan -yaitu rokok- yang menimbulkan bau tak sedap di mulut orang yang menghisapnya dan mengganggu orang dengan asapnya yang membuat orang terbatuk-batuk dan ‘terpaksa’ menyerap racun (baca: nikotin) ke dalam tubuh mereka?



Keempat: Merokok terbukti membahayakan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara menuruti kemauan hawa nafsunya- bersabda, Tidak boleh mendatangkan bahaya secara tak sengaja maupun disengaja.” (HR. Ibnu Majah [2331] dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [250])


Syaikh Dr. Muhammad Shidqi mengatakan, “Hadits ini merupakan landasan hukum yang tegas mengenai pengharaman mendatangkan bahaya, sebab penafian di sini menggunakan ungkapan yang mencakup segala objek dan menunjukkan haramnya segala jenis bahaya yang dilarang oleh syari’at. Hal itu disebabkan perbuatan mendatangkan bahaya termasuk dalam kezaliman, kecuali tindakan tertentu yang terdapat dalil yang mengecualikannya seperti hukuman had (potong tangan, dsb) dan dijatuhkannya berbagai bentuk hukuman…” (al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 252)



Fatwa Ulama

Dengan melihat realita dan bukti-bukti medis yang ada maka Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah dalam fatwanya menegaskan haramnya mengkonsumsi rokok (lihat al-Adillah wa al-Barahin ‘ala Hurmat at-Tadkhin). Demikian juga al-Lajnah ad-Da’imah (Komite tetap urusan fatwa Kerajaan Arab Saudi) menyatakan haramnya hal itu dalam Fatwanya (Fatawa Lajnah [7/283] pertanyaan kedua dari fatwa no 3623, as-Syamilah). Kita tidak menafikan adanya sebagian ulama yang menyatakan kebolehannya [dan anda telah melihat bahwa dalil-dalil yang ada dan bukti medis berseberangan dengan pendapat mereka], meskipun demikian mereka juga mengatakan bahwa meninggalkan rokok itulah yang lebih baik! (lihat Mathalib Uli an-Nuha fi Syarhi Ghayat al-Muntaha [18/212] as-Syamilah).


Dan perlu diketahui bahwa mereka menyatakan bolehnya hal itu dengan alasan; [1] hukum asal segala sesuatu adalah halal, dan [2] tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa merokok dapat merusak kesehatan tubuh, sementara pada zaman sekarang bukti itu telah tampak bagi setiap orang!! Dan kita pun telah paham berdasarkan dalil yang ada bahwa segala sesuatu yang membahayakan adalah dilarang dalam agama. Bahkan, hal itu merupakan kaidah yang populer di kalangan para ulama.



Berfikirlah!

Saudaraku, sekarang tanyakanlah kepada dirimu sendiri, apakah rokok itu berbahaya bagi kesehatan? Jawabnya sudah sangat mutawatir bukan? Para produsen rokok pun mengakuinya. Merokok dapat merugikan kesehatan, menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan, dan janin. Itulah peringatan pemerintah kita, semoga kita mengindahkan peringatan ini dengan sebaik-baiknya. Kalau bukan karena rasa sayang pemerintah kepada rakyatnya tentu mereka tidak akan mengharuskan pabrik rokok untuk mencantumkan peringatan ini di dalam iklan-iklan dan bungkus rokok tersebut. Aduhai, alangkah indahnya negeri ini jika rakyatnya mau menaati pemerintahnya dalam hal ketaatan!


Ucapkanlah selamat tinggal untuk rokok, sekarang dan untuk selama-lamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (Disebutkan oleh as-Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah [1/214], as-Suyuthi dalam ad-Durrar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah [1/19] as-Syamilah, Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini merupakan bagian dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya sahih”, Hijab al-Mar’ah wa Libasuha fi ash-Shalah, hal. 47. al-Maktab al-Islami, islamspirit.com) [Tulisan ini disusun dengan inspirasi dari: al-Adillah wa al-Barahin ‘ala Hurmat at-Tadkhin karya Syaikh Ibrahim Muhammad Sarsiq.]



Disuntingkan daripada At Tauhid edisi V/41 , karya akhi Ari Wahyudi



Sunday, April 11, 2010

Rokok serta nas pengharamannya



Secara kasarnya apabila seorang penjual makanan mempromosikan makanan yang dijual dengan mengatakan, “Tuan-tuan, silalah merasai makanan yang saya jual ini. Walaupun harganya agak mahal sedikit tapi dengan merasainya tuan-tuan akan memperoleh kanser, penyakit jantung, paru-paru, gangguan kehamilan dan janin serta seribu satu penyakit yang bakal tua-tuan hidapi di masa hadapan.” Andainya promosi seperti ini yang di laung-laungkan oleh penjual akan adakah sesiapa yang mahu mencubanya..

Kandungan dalam rokok

Ø Nikotin – sejeis unsur kimia beracun, mirip kepada alkaline di mana secara praktikalnya empat cc nikotin mampu membunuh seekor kelinci besar

Ø Distilasi – proses yang mencipta unsur hidro karbon yg amat dikenal pasti penyebab penyakit kanser

Ø Arsenic – unsur bahan kimia yang biasa digunakan untuk membunuh serangga

Ø Gas karbon monoksida yang terbentuk saat pembakaran tembakau dan kertas pembungkus rokok dalam waktu yang lama. Unsur ini memiliki kemampuan yg cepat untuk bergabung dengan darah merah (hemoglobin) dengan cepat dan menyebabkan tubuh terpaksa menyerap unsure timah berat yang beracun

Ø Nitrogen oksida yang boleh mengganggu saluran pernafasan serta merangsang kerosakan pada perubahan kulit

Ø Ammonium karbonat – unsur yang membentuk plak kuning pada permukaan lidah yang boleh mengganggu kelenjar makanan serta perasa ynag terdapat di permukaan lidah di mana ianya merangsang produksi air liur dan menimbulkan batuk serta boleh sehingga mengakibatkan radang mulut dan tenggorokan serta lain-lain penyakit lagi.



Bahaya rokok

Rokok menimbulkan bahaya secara lansung bagi tubuh badan dan dapat mendatangkan penyakit seperti: kanser, berbagai jenis penyakit mulut, bibir, lidah dan kerongkong, penyakit pencernaan, pernafasan penyakit saraf dan juga sistem pembenihan diri. Di samping itu juga rokok dapat mengganggu jantung dan saluran darah dan boleh mendatangkan penyakit jantung dan menjadi penyebab peyumbatakan pembuluh darah untuk ke saluran darah ke otak. Ia juga mempengaruhi zuriat keturunan dan merosakkan produksi kesuburan serta ianya terutama azap rokok yang tersebar memenuhi ruangan yang dihidu oleh orang lain yang lebih bahaya berbanding prokok itu sendiri.



Dalil pengharaman rokok berdasarkan Al-Quran

1. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-A'raf - 157)


2. .....janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,....(Al-An'aam - 151)


3. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra' -27)


4. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(An-Nisa' - 29)


5. Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab - 33)


Dalil pengharaman rokok berdasarkan As-Sunnah

1. “Barangsiapa yang memakan racun sehingga mati, maka di akhirat kelak nanti ia akan terus memakannya dalam neraka jahanam selama-lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Merokok beerti membinasakan diri bahkan diumpamakan seperti membunuh diri secara perlahan. Orang yang meninggal dunia kemudian berdasarkan hasil perubatan terbukti asbab kematian adalah rokok maka ianya dianggap bunuh diri, wal iyadzubillah. Membunuh diri hukumnya haram baik yang dilakukan secara langsung mahupun tidak langsung dengan cara cepat mahupun perlahan-lahan kerna penghujungnya tetap satu yakni bunuh diri.


2. Daripada ummu salamah diriwayatkan, “ Sesuatu yang memebaukkan dalam jumlah besar, maka haram hukumnya meskipun dalam jumlah yang kecil.” (hadith sahih, diriwayatkan oleh Ahmad)


3. “Segala sesuatu yang berbahaya untuk diri sendiri atau membahayakan orang lain hukumnya dilarang.” (shahihul jamie’ : 17393)


4. “Perumpamaan yeman yang baik dan teman yang jahat seperti perumpamaan antara penjual minyak wangi dengan pembuat besi. Pembuat minyak wangi akan memberikan minyak wangi kepada kita atau menjualnya kepada kita atau paling tidak kita boleh menghidu atau mencium wanginya itu. Sementara pembuat besi boleh menyebabkan baju terbakar atau paling tidak kita mencium bau busuknya.” (HR Bukhari dan Muslim)


5. “Seorang muslim adalah yang menyebabkan muslim lainnya selamat daripada bahaya lisan dan tangannya.” (HR Bukari)


6. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat hendaklah dia tidak mengganggu tentangganya.” (HR Bukhari)


7. “…… setiap umatku akan mendapatkan keampunan kecuali orang-orang yang melakukan maksiat secra ternag-terangan.” (HR Bukhari dan Muslim)


8. “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergerak pada hari kiamat nanti sebelum ia ditanya tentang empat perkara. Tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang tubuhnya untuk apa dia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan ke mana dihabiskan serta tentang ilmu untuk apa dia gunakan.” (hadith sahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)


9. “Yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas. Di antara yang halal dan haram itu ada beberapa perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga diri daripada perkara syubhat beerti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat beerti dia terjerumus ke dalam perkara haram.” (HR Bukhari dan Muslim)


Dipertik daripada ebook Rokok (Sang Pembunuh Berdarah Dingin) karya Syeikh Masyhur Hassan Salman & Syaikh Abdullah Abdul Hamied Al-Atsari dan diterjemah oleh Abu Umar Basyir Al-Maodani



Fakta sepintas lalu

* Hampir separuh daripada lelaki Malaysia merokok.

* Setiap hari, lebih kurang 45 hingga 50 remaja di bawah umur 18 tahun mula merokok.

* 30% daripada remaja lelaki berumur 12 hingga 18 tahun merokok.

* Bilangan remaja perempuan yang merokok semakin bertambah. Hasil daripada dua kajian ke atas remaja yang dijalankan dalam tahun 2000 dan 2004, bilangan remaja perempuan yang merokok telah bertambah dari 4% hingga 8%. Secara keseluruhannya, kajian dalam tahun 2004 mendapati bahawa hampir seorang daripada lima orang remaja adalah perokok.

* Kes kanser paru-paru telah bertambah dengan kadar 17% setahun.

* Tabiat merokok dipercayai akan menyebabkan hampir setengah juta kes penyakit koronari (jantung).

* Berdasarkan Kajian Morbiditi dan Kesihatan Kebangsaan Ke-2 yang dijalankan oleh Kementerian Kesihatan Malaysia dalam tahun 1996, tabiat merokok menyebabkan kematian lebih kurang 10,000 orang setahun.

http://www.infosihat.gov.my/taknak/KempenTakNak.php