Wednesday, May 19, 2010

Tujuh Jurang Kehancuran (As-Sab'u al-Mubiqat)


Hadits As- Sab'u al-Mubiqat

Hadits yang menjelaskan tentang as-sab'ul mubiqat (tujuh hal yang membinasakan) diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, (yakni); Menyekutukan Allah; Sihir; Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan cara yang haq; Memakan Riba; Memakan harta anak yatim; Lari dari medan pertempuran; Menuduh berzina wanita mukminah yang lengah (tidak terlintas olehnya untuk melakukan itu)."


1. Menyekutukan Allah

Sudah dimaklumi bahwa syirik atau menyekutukan Allah subhanahu wata’ala merupakan dosa terbesar yang banyak diperingat kan di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, serta merupakan kezhaliman yang pa ling besar. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,


“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. 31:13)


“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2:22)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Maukah kalian aku beritahukan dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?" Para shahabat menjawab, "Tentu ya Rasulullah." Beliau bersabda, "(Yaitu) Menyekutukan Allah." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ketika beliau ditanya oleh Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu, "Dosa apakah yang paling besar?" maka beliau menjawab, "Jika engkau menjadikan untuk Allah tandingan, padahal Dia telah menciptakan kamu." (Al-Bukhari dan Muslim).

Dan syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala sebelum pelakunya bertaubat, sebagaimana firman-Nya, artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” An Nisa 48)


2. Sihir

Sihir secara bahasa adalah sesuatu yang tersembunyi dan sangat halus. Ibnu Qudamah berkata, "Sihir yaitu buhul, mantera, atau ucapan-ucapan yang dibaca atau ditulis dan digunakan untuk menyakiti atau mempengaruhi badan atau hati atau akal orang yang disihir dengan tanpa melalui sentuhan sama sekali (kiriman, red)."

Macam-macam sihir amatlah banyak, namun pada hakikatnya semua sama yaitu kekufuran kepada Allah subhanahu wata’ala, sebagaiman firman Allah, artinya,
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS. al-Baqarah: 102)

Hadd (hukuman) bagi tukang sihir adalah dibunuh sebagaimana yang diriwayatkan dari para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka haram bagi seorang muslim mendatangi tukang sihir, kahin (dukun), 'arraf (tukang ramal/juru tebak) dan membenarkan apa yang mereka ucapkan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Tiga golongan yang tidak masuk syurga; Pecandu minuman keras, Pemutus silaturrahim; Orang yang membenarkan tukang sihir." (HR. Ahmad dan al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi)

Tidak boleh mengobati pengaruh sihir dengan sihir pula, berdasarkan riwayat dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang nusyrah (mengobati sihir) dengan sihir beliau bersabda, "Itu merupakan pekerjaan syetan."

Imam Ibnul Qayyim berkata, "Nusyrah yaitu melepaskan sihir dari orang yang tersihir, dan ini ada dua macam, yaitu; Melepaskan sihir dengan sihir yang serupa, ini merupakan perbuatan syaitan dan yang ke dua; Nusyrah dengan ruqyah dengan ta'awwudz dan pengobatan yang mubah maka itu dibolehkan."


3. Membunuh Jiwa yang Diharam kan, Kecuali Secara Haq.

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. an-Nisaa’:93)

Di dalam ayat yang lain disebutkan,
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israel, bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya.” (QS. al-Maidah:32)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Apabila dua muslim saling menyerang dengan pedang mereka, maka yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka." Lalu ditanyakan, "Wahai Rasulullah, yang membunuh sudah jelas, lalu bagaimana dengan yang terbunuh? Maka beliau menjawab, "Sesungguhnya dia juga berkeinginan untuk membunuh temannya itu." (HR al-Bukhari dan Muslim).


4. Memakan Harta Anak Yatim

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa:10)

Juga firman-Nya, artinya,
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa'at, hingga sampai ia dewasa.” (QS. al-An'am:152)

Memakan harta anak yatim merupakan dosa besar, yakni jika memakannya secara zhalim. Adapun jika wali (yang mengurusi) anak yatim tersebut seorang yang fakir, maka boleh baginya untuk memakan dengan cara yang baik (wajar). Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Siapa (di antara pemelihara itu) yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (QS. an-Nisa:6)

Larangan ini mencakup segala jenis perbuatan yang menyebabkan musnah atau tersia-sianya harta anak yatim apa pun bentuknya, meskipun tidak untuk dimakan. Penyebutan dengan kata "memakan" adalah karena hal itu yang biasa terjadi.


5. Riba

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyubur kan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. 2:275-276)

Dalam kelanjutan ayat disebutkan,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. 2:278-279)


6. Lari dari Medan Perang

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah meraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. 8:16)

Lari dari medan perang merupa kan dosa besar, yaitu kabur pada saat peperangan sedang berkecamuk dalam jihad fi sabilillah, karena hal itu menyebabkan kehinaan bagi ummat Islam dan melemahkan kekuatan mereka, dan juga karena jihad itu hukumnya wajib bagi siapa saja yang terkena panggilan.


7. Menuduh Mukminah Berzina

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (QS. 24:23)

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang- orang yang fasik.” (QS. 24:4)

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. 33:58)


Sumber: Hasyiyah ad-Durus al Muhimmah (Syaikh Bin Baz), penyusun Ahmad bin Shalih bin Ibrahim ath Thuwaiyan. (Abu Ahmad)


Sumber artikel daripada http://www.alsofwah.or.id/ (situs dakwah & informasi Islam)

Artikel Buletin An-Nur : Khamis, 21 Julai 05




Sunday, May 9, 2010

Masalah Niat Dalam Ibadah



Dengan memohon petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala , kita akan membahas masalah niat dalam ibadah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya semua amalan itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang mendapatkan apa yang telah ia niatkan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 Dari hadits di atas ada beberapa poin yang perlu dibahas, di antaranya:
Definisi niat adalah; Kemauan hati untuk melakukan sesuatu.
Tempatnya adalah dalam hati dan tidak ada hubungannya dengan lidah.

 Kalimat menunjukkan sebab terjadinya amal perbuatan. Bahwasanya segala bentuk perbuatan pasti didorong oleh niat untuk mela-kukannya. Setiap amalan orang berakal yang mempunyai ikhtiar pasti terjadi karena adanya niat. Mustahil ada seorang waras yang berwudhu', berangkat untuk shalat, bertakbir, dan melaksanakan shalat, tetapi dikatakan bahwa ia tidak atau belum berniat. Sedangkan ia melakukan semua itu dari dorongan keinginan hatinya, itulah yang disebut dengan niat. Sehingga sebagian ulama mengata-kan: "
Seandainya Allah membebani kita untuk beramal tanpa niat, sungguh itu adalah suatu beban yang tidak akan sanggup dipikul."

 Sedangkan makna adalah hasil atau balasan yang diperoleh seseorang dari amalnya tergantung pada niat. Apakah amalan tersebut dilakukan secara ikhlas hanya karena Allah, atau karena riya', sum'ah, atau untuk tujuan dunia lainnya.

 Walaupun seseorang mengucapkan lafadz niat dengan lisannya tetapi hatinya tertuju kepada selain Allah, maka yang akan dihitung adalah yang tersirat dalam hatinya. Hadits tersebut di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa niat yang ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya amalan shaleh.


Bila ada yang mengatakan bahwa niat itu adalah salah satu rukun dari rukun-rukun shalat, maka harus dimulai ketika mulai mengangkat tangan pada takbiratul ihram sampai pada kata akbar , sebab rukun suatu amalan harus berada di dalam amalannya. Yang benar, niat adalah syarat semua amalan, bukan rukun dalam setiap amalan.

Contoh dalam shalat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki yang rusak shalatnya:
"Jika kamu bangkit hendak shalat, maka baguskanlah wudhu'mu, kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah, selanjutnya bacalah yang termudah bagimu dari Al-Quran."(HR. Al-Bukhari).

Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memulai shalat dengan perintah "bertakbirlah", bukan dengan "berniatlah" , dan tidak juga "bertakbirlah dan sertakan niat dalam takbirmu". Tidak. Karena, kalimat "Jika kamu bangkit hendak shalat" sudah menunjukkan suatu maksud keinginan untuk shalat. Itulah yang disebut niat.

Kalaulah memang niat adalah rukun shalat yang membutuhkan lafadz khusus, niscaya Rasulullah n meng-ajarkannya kepada para sahabat. Seperti halnya bacaan tasyahud (tahiyyat). Ibnu Mas'ud radhiyallah 'anhu berkata:
"Rasulullah mengajariku tasyahud dan tanganku berada di antara kedua tangan beliau, sebagaimana beliau mengajariku Surat Al-Qur'an."

Contoh dalam puasa: Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Barangsiapa belum berniat untuk berpuasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya." (An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm, 6/162, shahih).

Malam hari adalah sejak matahari terbenam sampai terbit fajar, dalam dini waktu sebelum terbit fajar itulah niat di'azamkan. Sedangkan puasa baru dimulai setelah terbit fajar, jelas tidak berkumpul dengan niat.. Jadi niat tersebut bukanlah rukun dari puasa, tetapi syarat puasa. Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak memerintahkan atau mengerjakan
"Nawaitu shouma ghodin..."

Sungguh sangat disayangkan adanya orang yang dihinggapi rasa was-was. Mereka terlihat sering sekali dalam shalat mengulang-ulang takbiratul ihram, bahkan sampai imam telah ruku' pun ia belum selesai bertakbiratul ihram. Alasannya, karena niat belum masuk.
Astaghfirullaah. Sedemikian sulitkah Islam ini?

Ada juga orang, pada malam Ramadhan telah bermaksud puasa untuk esok hari. Bahkan ia bangun dan makan sahur. Tetapi esoknya ia membatalkan puasanya, karena ia menganggap puasanya itu tidak sah, karena ia lupa, tidak mengucapkan
"Nawaitu shouma ghodin..." pada malam hari tadi. Subhanallah. Ini hanya tipu daya yang datangnya dari bisikan syaitan.

Apakah sudah seperti ini kondisi/keadaan shalat dan puasa yang dilakukan oleh sebahagian Muslimin? Dengan mengidap kadar was-was yang tidak pernah tatacaranya dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallah 'anhuma.


Munculnya pendapat bahwa shalat harus melafalkan niat dengan lisan adalah dari kesalahan Abdullah bin Az-Zubairy dalam memahami ucapan Imam As-Syafi'i:
"Jika seseorang berniat haji atau umrah maka sudah cukup, walaupun tidak dilafalkan. Berbeda dengan shalat, tidak sah kecuali dengan ucapan." Abdullah Az-Zubairy mengatakan bahwa Imam As-Syafi'i mewajibkan pelafalan niat dalam shalat.

Imam An-Nawawi berkata:
"Para sahabat kami berkata: "Telah tersalah orang ini (Abdullah Az-Zubairy), bukanlah yang dimaksud Imam As-Syafi'i dengan "ucapan" itu niat, tetapi yang dimaksud adalah takbir."

Jadi, menisbatkan
"Ushalli" kepada Imam As-Syafi'i itu tidaklah benar. Kalau memang ada ulama yang berpendapat seperti itu, maka seharusnya perkataan (sabda) dan amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib didahulukan, ketimbang qaul ulama.

Semua nama yang mencakup perbuatan maupun ucapan yang dicintai dan diridhai Allah, baik yang dhahir maupun yang batin, disebut dengan ibadah. Jadi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada amalan-amalan fiqhiyyah saja. Tetapi, mengapa orang yang "menyunnahkan" atau bahkan "mewajibkan" untuk melafalkan niat serta mengajarkan lafal-lafal tertentu, ternyata hanya terbatas pada wudhu', tayam-mum, mandi, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan di sana masih banyak lagi amalan ibadah lainnya, seperti membuang duri di jalan, memberi makan fakir miskin, menghormati tamu dan tetangga dan lain-lain. Namun, mengapa mereka tidak pernah mengajarkan lafal niatnya?


Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Barangsiapa yang membuat-buat suatu perkara dalam urusan kami ini (agama) yang bukan berasal darinya, maka perkara itu tertolak." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kita tidak dibebani untuk membuat syari'at, hanya saja kita diperintahkan untuk mengikuti semua yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang termudah bagi kita.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk shalat sebagaimana beliau shalat. Yang melihat shalat beliau hanyalah para sahabat. Sedangkan kita hanya mengamalkan apa-apa yang telah sampai kepada kita dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.

Marilah kita tingkatkan amalan perbuatan kita dengan menjalankan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan meng-ikhlaskan niat untuk mengharapkan pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Do'a yang dibaca oleh Umar bin Al-Khatthab radhiyallah 'anhu :
"Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amalan shaleh. Jadikanlah amalanku itu hanya untuk mengharap wajahMu. Dan jangan Engkau palingkan ia kepada selain Engkau." (Muhammad Yasir).


Maraji':
 Al-Qaulul Mubin fi Akhth'ail Mushallin, Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud Salman.
 Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muham-mad bin Shalih Al-'Utsaimin.
 Sifat Shaum Nabi, Syaikh Ali Hasan dan Salim bin 'Id Al-Hilaly.
 Sifat Shalat Nabi, Syaikh Al-Albany.
 Manhajul Anbiya' fi Tazkiyatin Nufus, Salim bin 'Id Al-Hilaly.


Sumber artikel daripada www.alsofwah.or.id (situs dakwah & informasi Islam)
Artikel Buletin An-Nur : Rabu, 07 April 04


Saturday, May 1, 2010

Sukarnya Dalam Memahami Lelaki..



Pernah satu ketika seorang sahabiah pernah menimbulkan persolan yang sememangnya bagi diri penulis sendiri sukar untuk menjawab walaupun penulis berada dalam kategori golongan yang dimaksudkan. Mungkin juga persoalan timbul asbab diri ini juga belum melangkah ke alam berkeluarga agaknya. Penulis tahulah diri ini makin meningkat tua, tetapi rasanya bukan diri sendiri sahaja malah sahabat yang lain pun sama juga yang masih belum melangkah ke alam berkeluarga.


Persoalan yang ditimbulkan adalah seperti berikut:


“Wan, apa yang boleh kami muslimat ni nak tahu bila yang dikatakan seseorang lelaki itu bersedia untuk masuk alam tu sebabnya kebiasaannya walaupun telah berkawan lama tetapi masih lagi beralasan apabila ditujukan persoalan sedemikian. Sama juga bg teman-teman yang lain pun. Nak kata tunggu keje pun dah keje. Umur dah makin meningkat tapi masih berdolak dalih lagi. Kadang-kadang kami ni sukar nak baca hati orang lelaki ni macam mana ye. Mana tau sebagai lelaki wan ada juga pandangan merujuk kepada persoalan ni.”


Huhuhuhu… Ni pertanyaan ke atau sindiran tajam buat diri penulis dan teman-teman yang masih seangkatan. Apapun penulis cuba menjawab setakat yang penulis ketahui dan mengikut apa yang penulis apa yang penulis rasakan sebagai lelaki dalam konteks diri yang serba kekurangan dan kedhaifan ini. Setiap orang mampu untuk beri pandangan tersendiri dalam kita menukilkan apa yang kita pegang dan fahami dalam konteks falsafah diri. Tetapi ianya tidak semestinya sama dengan hakikat sebenar keumuman untuk semua individu yang bergelar lelaki abad ini.



Sememangnya setiap insan yang bergelar lelaki pastinya ingin untuk mempunyai pasangan hidup untuk berkongsi kasih dan sayang disamping melengkap apa yang dinyatakan sebahagian daripada iman bagi seseorang dalam menjaga diri dalam menundukkan nafsu syahwat serta juga meneruskan penyambung zuriat yang bakal ditinggalkan di dunia ini setelah masing-masing akan dijemput bertemu dengan Pencipta Yang Esa. Setiap insan pastinya ini antara motif utama sebelum melangkah ke alam pernikahan dan berkeluarga.


Hatta dalam sebuah kisah apabila diberitakan seseorang kepada seorang alim bahawa anak lelaki orang alim tersebut telah jatuh cinta pada seorang muslimah. Terus yang terpancul dari mulut si alim tersebut adalah rasa syukur kerana anak lelakinya berada dalam fitrah yang normal sebagai lelaki. Cumanya si anak perlukan tunjuk ajar agar perasaan itu adalah sejajar dengan kehendak syar’ie.


Sebagai lelaki kami ini perlu jelas hala tuju diri terutama dalam pembawaan hidup kerana kami ini merupakan pengemudi bahtera yang amat besar kerana apa yang berlaku pada diri setiap insan di mana asas utama pendidikan adalah daripada rumah terutama kedua ibu bapa dalam mencorakkan anak tersebut mengikut acuan yang diberikan. Ini bukan tanggungjawab yang mudah. Seperti orang sering katakan nak buat anak mungkin mudah, tapi nak didik serta asuh anak menjadi manusia bukan satu urusan yang mudah. Sebabnya anak-anak yang bakal ditinggalkan inilah yang akan membantu kita atau lebih membebankan kita di alam barzakh kelak. Maka amat beruntung sebenarnya bagi ibu bapa yang dapat menyediakan anak-anak mereka menjadi anak yang soleh, solehah, alim alimah atau hafiz hafizah. Ini kerana mereka inilah saham-saham yang ditinggalkan oleh ibu bapa untuk ibu bapa tuai yakni membantu di alam yang baqa' kelak doa daripada anak-anak yang soleh. Kalau nak bandingkan ilmu yang manfaat dan harta yang diinfaqkan berapa la sangat mampu untuk dibuat (merujuk kepada diri penulis yang dhaif ini).


Dalam konteks ini banyak untuk kami muhasabah diri kemampuan untuk itu. Adakah kami sebenarnya dah bersedia untuk galas tanggungjawab amanah ini sebagai pengemudi bahtera kelak. Dengan ilmu di dada yang serba kurang dan sebagainya kena punya keazaman yang lebih untuk cuba mantopkan dari semasa ke semasa. Tambah-tambah diri penulis ini yang bukan dalam bidang agama dan adakalanya lemah sangat untuk itu.



Bukankah dianjurkan untuk kita menutup pintu maksiat adalah dengan menikah walaupun pada usia yang muda? Pernah dengar istilah ini?


Penulis nak komen lanjut pun penulis mungkin bukan ahli sangat. Tapi bagi diri penulis ada pro dan kontranya apabila kita melaksanakan ini tanpa penilaian diri yang mendalam terutama bagi diri individu tersebut. Dalam perangkaan di Malaysia dari tahun ke tahun angka perceraian bagi pasangan Islam makin meningkat. Mungkin pembaca boleh merujuk mengikut perangkaan yang dibuat oleh badan agama berkaitan statistik ini. Andai kita nilai semula adakah Islam mengajurkan untuk menjaga diri dengan menikah dan dalam masa yang sama perceraian juga turut meningkat. Ini banyak terjadi bagi golongan muda yang menikah yang mempunyai pelbagai satu asbab akan terjadinya perceraian. Sebab itu bagi diri penulis bukan semata-mata untuk hindari maksiat terus ambil keputusan untuk menikah yang padahal keadaan diri, kemampuan serta kesediaan untuk pikul amanah sebagai suami dan bapa pada anak-anak tidak lagi ada dalam diri individu terbabit. Dalam konteks ini ukuran baju perlu dilakukan bagi setiap diri individu yang ingin melangkah ke alam pernikahan sama ada mampu atau tidak.


Bukankah Nabi saw telah menasihatkan bagi diri pemuda yang tidak berkemampuan maka perlu melakukan puasa dalam menundukkan nafsu syahwat yang ada walaupun kadang-kadang sebagai anak muda sememangnya agak sukar untuk itu. Tetapi apabila kita dekatkan diri dengan agama pastinya kita punya solusi untuk kawal, InsyaAllah. Walaupun bagi diri yang sedia mengetahui pun adakalanya tersasar dan tergelincir tetapi kita perlu sedar bahawa iman bagi setiap mukmin itu ada tika naik dan ada tikanya turun. Itu adalah iktikad ahlusunnah waljamaah. Jadinya perlunya selalu kita usahakan dalam peningkatan iman dari masa ke semasa.



Sebagai kaum lelaki kami adalah merupakan sumber ekonomi dalam sesebuah keluarga. Tak kisahlah bagi andai si isteri bekerja sekalipun dalam konteks ekonomi adalah atas bahu suami. Isu wanita berkarier mungkin lebih perlukan pencerahan lanjut lebih detail tentang itu. Ikut statistik perceraian, antara asbab utama antaranya adalah disebabkan ekonomi keluarga. Sebab itu jugalah kami ini perlu mantapkan diri dalam erti kata yang sebenar sebelum rasa bersedia untuk masuk alam itu.


Berdasarkan pengalaman kerdil penulis sendiri pun pastinya apabila penulis letakkan diri sebagai muslimat pastinya penulis juga inginkan seorang suami yang mampu nak sara keluarga, punya rumah, kenderaan atau kereta dan segala keperluan asasi yang cukup agar kehidupan nanti bersama anak-anak terjamin. Betulkan para muslimat? Jadi, dengan apa yang pernah terjadi antara hikmahnya sememangnya juga penulis yang serda dhaif dan kekurangan ini belum mampu untuk beri semua itu untuk seseorang yang bergelar muslimah dampingi berbanding orang lain yang lebih mampu untuk itu. Sememangnya kekerdilan diri berpihak pada diri ini. hakikat yang penulis kena akui dan telan walaupun pahit.


Memang ada juga di kalangan sahabat-sahabat penulis yangberkahwin pada usia yang muda seperti setelah tamat persekolahan serta dalam alam study. Pastinya yang mampu dikatakan penyediaan untuk perkahwinan banyak dibantu oleh kaum keluarga. Bagi keluarga yang berkemampu pasti isu tidak timbul tetapi bagi diri penulis dan teman-teman yang serba sederhana semuanya perlu disediakan sendiri tanpa harap bantuan keluarga untuk itu. Ini pastinya bukan perkara yang mudahkan dalam penyediaan berjuta rupiah untuk langkah ke alam itu. Zaman sekarang bukan seperti zaman dahulu yang hanya ada ketikanya cukup dengan mahar cincin besi ataupun hafalan ayat Quran sebagai mahar untuk wanita. Tetapi kini hantaran dan sebagainya yang penulis maksudkan.


Diri penulis sendiri adakalanya cuba dalam pengaplikasian diri cuba meletakkan diri dalam diri individu yang sebaliknya dalam melakukan muhasabah diri. Sebagai diri muslimah mungkin secara tak langsung dah dinyatakan di atas tetapi dalam masa yang sama juga kena letakkan juga diri ini di pihak keluarga muslimat itu sendiri. Bukan mudah bagi diri individu muslimah lebih-lebih lagi keluarag yakni ibu dan bapa dalam melakukan pemilihan menantu untuk anak mereka pastinya inginkan yang terbaik dalam melakukan pilihan. Kita bukan sahaja menikah dengan muslimat itu sahaja tetapi termasuk juga kaum keluarganya terutama ibu dan bapanya. Apa yang rasanya bakal dikehendaki bagi mereka (ibu bapa dan keluarga wanita).


Setakat ini hasil persembangan dengan rakan yang dah berkahwin setelah ditemuduga kebanyakannya rasanya tidaklah terlalu sukar apabila sesi taaruf terutama dengan ibu dan bapa muslimat. Tetapi majoritinya perkara yang akan menjadi topik perbualan adalah pekerjaan, harta (walaupun ada yang secara langsung), kaum keluarga lelaki dan sebagainya. Sebab itu rasanya kewajaran yang jelas penulis berterus terang yang diri ini mungkin sekadar ala-ala buruh kasar pun tidak mengapa agar biar keluarga mentua nanti tahu dari awal untuk beri kemewahan pada anak mereka mungkin penulis tak mampu (pencerahan awal rasanya wajar untuk diri penulis nanti). Biarlah rasanya berterus terang daripada awal agar penerimaan diri ini dapat diterima dengan berlapang dada di masa-masa yang mendatang.




Setakat ini belum pernah lagi penulis dengar teman-teman yang ditemuduga oleh bakal mentua cukup tak solat wajib dijaga, apa manhaj diri yang dipegang, ustaz mana yang selalu diikuti ceramah dan persoalan-persoalan khusus agama tentang itu. Bab-bab hukum hakam umum yang difahami dan sebagainya. Mungkin juga perkara itu sudah diketahui awal agaknya oleh mereka (husnuzan-bersangka baik), InsyaAllah. Tetapi ditanya oleh Tuan Kadi semasa nak akad ada la. Andai kena pada diri penulis jenuh juga nak jawabkan, huhuhuhu. Tambah pula pernah satu ketika dulu dalam utusan Malaysia isu yang pernah hangat diperkatakan dikupas oleh seorang alim dalam jabatan agama di mana di penghujung sesi dinasihat dalam pemilihan calon suami ataupun isteri sebolehnya cuba hindari daripada memilih bagi yang terpengaruh akan pemahaman golongan orang muda kini yang lebih menjurus ke arah tajdid (pembaharuan dalam agama) kerana bakal menimbulkan perpecahan dan ketegangan dalam institusi keluarga nanti. Nau’zubillahiminzalik.


Persoalan demi persoalan yang bermain di fikiran hingga kini yang tak mampu nak dijawab. Ada sekali dahulu semasa satu sesi kuliah al-fadhil ustaz pernah menyatakan seorang agamawan yang ternama juga di dalam negara ada menyatakan kepada umum dalam media bertulis dalam menasihati masyarakat agar seandainya inginkan perdamaian, ukhwah islamiyah dalam konteks masyarakat setempat hanya cukup dalam mempelajari ilmu dan kitab-kitab yang sudah sebati yang disampaikan oleh ulama-ulama yang terdahulu dan sebolehnya bukan hanya mengaji dan menelaah kitab-kitab hadith yang pastinya akan membuatkan lagi banyak perpecahan dalam masyarakat. Komentar orang agamakah yang belajar tinggi hingga ke peringkat universiti terkenal dunia dalam membicarakan ungkapan seperti ini. Mungkin ada benarnya pepatah mengatakan bahawa tidak semestinya seseorang yang berilmu agama itu memahami akan konteks pemahaman yang dikehendaki oleh agama itu sendiri.Apapun yang pasti semua ini adalah dengan hidayah dan taufiq daripada Allah untuk hambaNya dalam memberi petunjuk ke jalan yang lurus, InsyaAllah...


Dah melalut panjang penulis daripada terus menjawab apa yang diinginkan oleh teman penulis. Secara umumnya apa yang mampu nak penulis simpulkan adalah beberapa perkara. Sebenarnya apa yang setiap muslimat inginkan dalam sesebuah keluarga terutama bagi diri individu yang bergelar lelaki yakni zaujan (suami) dan bapa kepada anak-anak kelak itu juga apa yang diinginkan oleh kami ini dalam diri setiap muslimat. Di bawah mungkin antara pendekatan yang bagi diri penulis wajar untuk sama-sama kita fikirkan apabila ingin hidup bersama dengan orang yang belum pernah kita tinggal bersama kerana masa inilah baru semuanya kita akan kenal pasangan dalam erti kata yang sebenarnya. Tiada lagi istilah kepura-puraan dan silap haribulan tembelang pun akan pecah dan kejutan yang tidak disangka akan berlaku. Perkahwinan bukan untuk sehari dua, seminggu, sebulan atau pun setahun dua tetapi sebolehnya kita inginkan sebuah keluarga yang terus kekal hingga ke akhir hayat, Insyaallah.




Peringatan di bawah didedikasikan buat teman-teman (termasuk buat diri penulis sendiri yang serba kekurangan) yang melalui alam kehidupan bekeluarga mahupun yang bakal menginjakkan diri ke alam itu nanti.


§ Tidak salah bagi diri seorang muslimat menawarkan diri kepada lelaki yang soleh ataupun baik dari segi agama untuk dijadikan sebagai calon suami. Dalam konteks ini adakalanya kami ini juga menanti juga sama ada ada atau tidak yang ingin cuba nak sunting walaupun hakikat dibuat oleh lelaki kepada kaum wanita. Tapi andai tiada kekuatan mungkin boleh gunakan khidmat orang ketiga untuk itu. Tetapi pastikan niat menjurus untuk pernikahan bukan sekadar berpacaran semata-mata


§ Andai diri muslimat itu dalam kategori alimah tetapi lelaki itu agak kurang cuba terima dirinya seadanya. Tidak mengharapkan perubahan yang drastik untuk berubah. Beri dorongan untuk itu agar sama-sama cuba beri yang terbaik dalam kehidupan. Sama juga di pihak lelaki untuk itu tetapi dalam konteks ini perlulah jelas diri individu itu ingin kepada agama kerana mudah untuk proses itu cuba diaplikasikan nanti. Jika tidak pastinya akan bermasalah apabila cuba dilaksanakan.


§ Bersedia untuk tidak mengharapkan lebih daripada apa yang mampu diberikan oleh lelaki. Kebiasaannya muslimat ni lebih sensitif berbanding lelaki seperti apabila sesuatu yang dihajatkan tidak mampu dipenuhi oleh lelaki pastinya akan mencuka, merajuk dan sebagainya. Walaupun itu fitrah bagi kebanyakan muslimat tetapi dalam masa yang sama perlu sedar dan bersedia untuk itu lebih-lebih lagi apabila dah bersama dalam konteks keluarga kelak. Yang pasti sebagai lelaki pastinya siapa sahaja akan cuba penuhi apa yg dihajatkan oleh orang yang disayang tetapi ada kala kekangan menyebabkan sedemikian. Sama juga di pihak lelaki apabila mengharapkan sesuatu daripada muslimat.


§ Cuba untuk tidak membebankan diri lelaki tersebut. Andai lelaki tersebut serba kekurangan dari segi ekonomi dan wanita itu bekerjaya cuba untuk membantu terutama dalam aspek ekonomi keluarga nanti. Ini kerana dengan bekerjanya seorang wanita itu juga adalah atas izin suami dan dalam masa yang sama jangan mengabaikan tanggungjawab diri pada keluarga. Sebagai contoh andai kemampuan suami hanya sediakan meggie kosong dalam sajian menu harian, dengan isteri bekerja mampu la tambah sayur dan telur serba sedikit. Jangan terlalu bebankan hingga hari-hari nak akan sediakan nasi beriani dan sebagainya. Ini sekadar contoh yeeee…


§ Pastinya antara keharmonian keluarga adalah dengan adanya senda gurau dan sebagainya. Pasti wanita tidak ingin akan lelaki yang baran dan dalam masa yang sama pastikan diri juga tidak ke arah itu tidak tentu pasal yang adakalanya mungkin lelaki dapat fahami kerana melibatkan biologi diri. Jadi cubalah untuk kawal akan ketika waktu itu agar keharmonian akan sama-sama dikecapi kedua pihak. Andai ada apa teguran untuk lelaki pastikan dilakukan dengan hikmah kerana ada juga akan lelaki ini pantang nak ditegur. Tidak cepat melenting mahupun bebelan yang bertalu-talu pada suami. Tapi adakala dengan isteri layu jg sesetengah tu. Ni pengalaman dengan teman-teman, huhuhu…


§ Kadangkala apa juga nak dilakukan dalam pergaulan dan sebagainya kena cuba berfikir panjang dan cuba tempatkan diri ditempat pihak pasangan. Apakah dirinya akan merasa selesa sekiranya kita lakukan perkara ini dan apa pula reaksi kita apabila dia juga melakukan perkara tersebut apabila berada di belakang kita. Kadang-kadang apabila dah dah kenal hati budi dan peribadi pasangan secara tak langsung pasti kita sudah dapat bayangkan perkara itu disukai atau pun tidak kerana ada ketika bagi kita tidak apa-apa tetapi bagi pihak dia tu sebaliknya. Sama juga bagi lelaki sama jg dalam erti untk menjaga hati. Tetapi tidak bermaksud menipu diri atau berpura-pura kerana itulah hakikat mempunyai pasangan hidup kerana disamping diri sendiri perlu dijaga pihak lain juga perlu untuk diberi perhatian.


§ Dalam masa yang sama masing-masing perlu jelas akan matlamat hubungan yang dibina. Pastinya nanti di kemudian hari akan timbul juga sedikit sebanyak pergolakan dan sama-sama perlu berlapang dada, wujudkan musyawarah dalam keluarga, letakkan ego diri dalam keadaan rasional walaupun kebiasaannya lelaki lebih memonopoli keadaan dan saling ingat memperingati kepada yang baik


Banyak lagi andai nak dinyatakan di sini dan pastinya setiap orang inginkan kehidupan yang pasti diredhoi dunia dan juga ukhrowi oleh Allah Azzawajalla. Dalam masa yang sama apa yang penulis nyatakan di sini mungkin juga berbeza dengan pandangan umum insan lelaki yang lain. Tetapi buat diri ini, mungkin inilah yang mampu untuk penulis kongsi apa yang tersimpan dalam hati ini dan apa sebenarnya apabila ditimbulkan perkara tentang itu yang pasti masih banyak yang perlu untuk penyediaan diri kerana sebolehnya biarlah institusi keluarga yang dibina itu terus berkekalan untuk selamanya, InsyaAllah.


Wallahualam..



(Semoga apa yang penulis nyatakan ini Allah beri kekuatan dan hidayahnya untuk penulis aplikasikan nanti untuk diri dan juga dalam keluarga di kemudian nanti, InsyaAllah..)