Friday, November 6, 2009

Menyingkap Perselisihan dan Adab-Adabnya


Al-Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang kerap terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun. Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini difahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih “ini adalah masalah khilafiyah”. Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas kewajaran manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat.

Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya mampu menyeret kepada kejelekan dan perpecahan. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realiti yang tidak mampu dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaedah-kaedah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)


Macam-macam Khilaf
Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.

1. Ikhtilaf tanawwu’.
Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak mampu dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.

Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.

2. Ikhtilaf tadhad.
Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal. Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.

3. Ikhtilaf afham.
Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.

(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam)


Penyebab Perbedaan Pendapat di antara Ulama

Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun –yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran. Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat. Kesalahan pasti bisa terjadi, karena manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya. Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa meliputi seluruh perkara.

Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:

1. Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikhabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut,.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)

2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.

3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.

4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء” artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.

5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.

6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).

7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.

(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)


Sikap Kita terhadap Perselisihan yang Ada

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki kuat dan dianggap adalah perbedaan pendapat ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya. Bukan mereka yang dianggap atau mengaku ulama namun sebenarnya bukan ulama. Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah, dan lainnya dengan Ahlus Sunnah.

Sikap kita terhadap perselisihan ulama adalah:

1. Kita yakin bahwa khilaf mereka bukan karena menyengaja menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan di atas serta sebab lain yang belum disebutkan.

2. Kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dari sisi dalil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seseorang kecuali hanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik jiwa ini menyukainya atau tidak. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada jaminan terbebas dari kesalahan. Sehingga apa yang sesuai dengan hujjah dari pendapat mereka, itulah yang kita ambil dan ikuti. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hujjah maka kita tinggalkan. Sebagaimana wasiat para imam untuk meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil. Di sisi lain, meski kita dapatkan dari mereka adanya pendapat yang salah, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka.

Usaha untuk sampai kepada kebenaran telah mereka tempuh, namun mereka belum diberi taufiq untuk mendapatkannya. Jika mereka salah dengan pendapatnya –setelah usaha maksimal– maka tidak ada celaan atas mereka. Bahkan mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sikap hormat dan memuliakan para ulama serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka.

(Lihat Kitabul ‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu)


Bolehkah Mengingkari Pihak Lain dalam Permasalahan yang Sifatnya Khilafiyah?

Ada dua hal yang harus dibedakan yaitu, masalah-masalah khilafiyah dan masalah-masalah ijtihadiyah. Masalah khilafiyah lebih umum sifatnya daripada masalah ijtihadiyah. Karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) ada yang sifatnya bertentangan dengan dalil dari Al-Qur`an, hadits, atau ijma’. Permasalahan khilafiyah yang seperti ini harus diingkari.

Berbeda dengan permasalahan ijtihadiyah yang memang tidak ada nash atau dalil dalam permasalahan tersebut. Dalam masalah ijtihadiyah (yakni yang muncul karena ijtihad pada masalah yang memang diperkenankan berijtihad padanya), seseorang memiliki keluasan padanya. Manakala dia mengambil suatu pendapat yang ia pandang lebih kuat, maka yang menyelisihinya tidak boleh mencela.

Sebagai misal dalam masalah khilafiyah -untuk membedakan antara keduanya- adalah pendapat sebagian ulama yang membolehkan pernikahan tanpa wali nikah. Pendapat ini salah karena bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Al-Irwa` no. 1839). Ini dinamakan masalah khilafiyah.

Adapun contoh masalah ijtihadiyah seperti bersedekap atau meluruskan tangan setelah bangkit dari ruku’, di mana tidak ada nash yang sharih (jelas) yang menunjukkan posisi tangan setelah ruku’. Wallahu a’lam.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan: “Ucapan mereka (sebahagian orang) bahwa masalah-masalah khilafiyah tidak boleh diingkari, ini tidaklah benar. Karena pengingkaran adakalanya tertuju kepada ucapan atau pendapat, fatwa, atau amalan. Adapun yang pertama, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah menyebar maka wajib untuk diingkari menurut kesepakatan (ulama). Meskipun pengingkaran tidak secara langsung, namun menjelaskan lemahnya pendapat ini dan penyelisihannya terhadap dalil juga merupakan bentuk pengingkaran. Adapun masalah amalan jika ia menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan derajat pengingkaran.

Bagaimana seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak ada pengingkaran pada masalah yang diperselisihkan, padahal ulama dari semua golongan telah menyatakan secara tegas batalnya keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah, meskipun keputusan tadi telah mengikuti atau mencocoki pendapat sebagian ulama?! Adapun bila dalam suatu permasalahan tidak ada dalil dari As-Sunnah atau ijma’ dan ada jalan (bagi ulama) untuk berijtihad dalam hal ini, (maka benar) tidak boleh diingkari orang yang mengamalkannya, baik dia seorang mujtahid atau yang mengikutinya….” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/252)

Permasalahan ijtihadiyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, seberapapun besarnya permasalahan. Karena jika demikian, kaum muslimin justru akan bercerai berai, tidak punya kekuatan dan menjadi permainan setan dari kalangan jin dan manusia, serta menjadi umpan yang cukup baik bagi para musuh Islam. Sebahagian orang tidak memerhatikan jenis ikhtilaf yang seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama dijadikan dasar untuk memberikan ketaatan karenanya atau memusuhi yang menyelisihinya. Sikap yang seperti ini akan menyebabkan berbagai kerusakan dan kebencian yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahuinya.

Hendaklah kesepakatan kita dalam permasalahan seperti ini adalah berlapang dada, yang mana salafus shalih berlapang dada padanya. Adalah Al-Imam Ahmad rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Al-Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Beliau menjawab: “Bagaimana mungkin saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah.

(Adabul Khilaf, Hujajul Aslaf dan Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah)


Dianjurkan untuk Keluar dari Lingkup Perselisihan

Ulama fiqih menyebutkan suatu kaedah yang penting yang semestinya dijadikan pegangan yaitu:
يُسْتَحَبُّ الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ
“Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”

Puncak yang dicapai dari kaedah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati, dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada perkara yang kemudaratannya ringan. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan menyampaikan kepada maslahat yang lebih dominan dan menutup pintu khilaf, maka perkara sunnah ditinggalkan.

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan rencana untuk memugar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa membiarkan Ka’bah seperti itu lebih besar maslahatnya, di mana banyak orang Quraisy yang baru masuk Islam dikhawatirkan akan punya anggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghormati kesucian Ka’bah. Dikhawatirkan nantinya mereka bisa murtad dari agama karenanya.

Demikian pula sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengingkari Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di saat ia shalat dengan tetap seperti ketika bermukim (tidak qashar) dalam bepergian. Namun Ibnu Mas’ud tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan tidak meng-qashar dan mengikuti khalifah. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perselisihan itu jelek.”

Oleh karena itu sejak dahulu ulama telah sepakat tentang sahnya shalat orang yang bermazhab Syafi’i di belakang orang yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun mereka berselisih tentang batal atau tidaknya wudhu seseorang bila menyentuh perempuan.

Kemudian yang perlu diperhatikan, dalam perkara yang diperselisihkan keharamannya maka jalan keluarnya adalah dengan meninggalkannya. Sedangkan perkara yang diperselisihkan tentang wajibnya maka jalan keluarnya adalah dengan dikerjakan. Namun tingkatan untuk dianjurkan keluar dari area khilaf berbeda-beda sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil. Yang menjadi ukuran adalah kuatnya dalil yang menyelisihi.

Jika dalil yang menyelisihi lemah maka tidak dianggap, terlebih jika menjaga kaedah ini (karena dalil yang lemah) bisa menyampaikan kepada meninggalkan sunnah yang telah kuat. Sebagai misal, bila ada yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam shalat menjadikan batal shalatnya. Pendapat seperti ini tidak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat dalam permasalahan ini.

Kemudian juga yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai karena menjaga kaidah ini kita menyelisihi ijma’. Jadi untuk bisa dijalankan kaidah tadi adalah dengan melihat kuatnya dalil orang yang khilafnya teranggap. Adapun bila khilafnya jauh dari dalil syariat atau merupakan suatu pendapat yang ganjil maka tidak dianggap. Orang yang pengambilan dalilnya kuat maka khilafnya dianggap meskipun derajatnya di bawah orang yang diselisihinya.

(Diringkas dari Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah karya Ali Ahmad An-Nadawi dari hal. 336-342)


Adab yang harus Diperhatikan untuk Mengobati Perselisihan yang Terjadi di Antara Ahlus Sunnah

Pertama: Niat yang tulus dan ingin mencari kebenaran. Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap objektif. Ini mudah secara teori namun susah dalam praktik. Karena tidak sedikit orang yang lahiriahnya seolah menyeru kepada kebenaran, padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya. Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah peribadi dan menggunakan bahasa celaan. Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur`an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)

Kedua: Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)

Ketiga: Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.

Hal ini mampu diwujudkan dengan:
1. Berbaik sangka terhadap ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan ukhuwah Islamiah di atas segala kepentingan.
2. Apa yang dinyatakan/keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
3. Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang paling tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada ulama.
4. Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
5. Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
6. Menjauhkan diri dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan huru-hara.
7. Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.


(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid hal. 44-47 dan An-Nush-hul Amin Asy-Syaikh Muqbil)


Contoh Penerapan Adabul Khilaf di Masa Salaf

Di antara sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu terjadi perselisihan pendapat tentang masalah yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan datuk itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara sahabat Zaid radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama adanya datuk. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sangat yakin bahwa pendapat Zaid radhiyallahu ‘anhu salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah (saling berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.

Pada suatu saat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma melihat Zaid radhiyallahu ‘anhu mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid dan menuntunnya. Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.” Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid radhiyallahu ‘anhu menciumnya, seraya mengatakan: “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”

Ketika Zaid radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf hal. 21-22)


Penutup

Telah terang atas kita huraian dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah. Yang tak kalah pentingnya bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk ditunjuki kepada kebenaran pada perkara yang diperselisihkan. Kita yakin bahwa kita lemah dalam segala sisinya. Hawa nafsu sering kita kedepankan sehingga jalan kebenaran seolah tertutup di hadapan kita. Kita menghormati para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam iman dan amal serta mendoakan kebaikan untuk mereka.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului dengan keimanan, dan janganlah Engkau jadikan pada hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman, wahai Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)

Wallahu a’lam.


Oleh Al Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.

* Sumber artikel daripada http://www.salafiyunpad.wordpress.com/

Monday, November 2, 2009

Bual bicara semasa..

Setelah beberapa lama tidak menukilkan sendiri sebarang penulisan daripada hasil buah fikiran cuma sakadar mengambil dan memetik artikel-artikel ilmiah untuk dimasukkan ke dalam ruang blog. Di samping kerjaya yang adakalanya tak menentu masa tapi masih di takuk yang lama seperti dahulu apapun rasa penuh kesyukuran dipanjatkan kerana masih lagi diberi ruang untuk peroleh kerja berbanding sesetengah orang yang masih mencari-cari pekerjaan menampung kehidupan yang sementara ini.

Di kesempatan kali ini ingin penulis berkongsi sesuatu hasil sembang-sembang dan bual bicara dengan rakan penulis sewaktu pulang ke kampung halaman sempena Hari Raya Aidilfitri yang lalu. Pada saat begini sahaja penulis berpeluang bertemu dengan beberapa kerat sahabat yang masih utuh ukhwah antara kami walaupun kini sudah tidak lagi kerap bertemu seperti dahulu. Cumanya mungkin juga status yang masih sama yakni bujang yang masih merapatkan lagi hubungan antara kami berbanding beberapa orang teman lain yang telah melangkah kea lam berkeluarga. Selain rumah menjadi port kebiasaan, kedai makan atau gerai menjadi medan tempat pertemuan.




Teman-teman lama

Sahabat yang dimaksudkan adalah Jasmi dan juga Mat Poji, panggilan Mie dan Mat je sejak zaman sekolah lagi. Medan kali ni adalah di gerai char koew teow berdekatan lampu isyarat nak ke kampung jawa pada malam ke-3 Hari Raya kalau tak salah. Banyak topic juga yang diperbincangkan. Al maklumlah jarang-jarang bertemu yang mana Mie merupakan sahabat sejak sekolah rendah lagi manakala Mat pula sekolah menengah dan seasarama dahulu.

Bermula dari mengungkap kembali zaman persekolahan yang lalu yasng pastinya tak akan luput daripada ingatan dan terus dengan senantiasa diungkap apabila berkumpul bersama teman-teman sepersekolahan. Kemudian ianya akan terus diikuti dengan perkembangan terkini. Yang pastinya tak terlepas adalah mngenai alam perkahwinan. Kadang memang adakala topic sebegini sememangnya cuba untuk diletakkan disebelah tapi pastinya akan membuatkan juga sering berfikir. Itulah yang dinamakan lumrah naluri sebagai seorang insan.






Alam perkahwinan

Kadang topik sebegini sudah beberapa kali entri artikel tentang ini telah dipaparkan dalam pelbagai konsep cerita dalam menasihati dan memberi pandangan berkaitan hal ini. Perkara ini sebenarnya tak lekang dari diperkatakan terutama apabila tiba ketika cuti sekolah dan undangan perkahwinan bertalu-talu diutuskan lebih-lebih lagi teman-teman serta sahabat handai. Pastinya keluarga akan mula soksek-soksek pasal perkara ni. Mujurlah kami ni kaum lelaki dan agak kurang sedikit rasanya jika nak dibandingkan dengan yang muslimat yang sama status lagi. Tapi sememangnya bagi penulis sendiri berdasarkan sedikit pengalaman buat masa bab ni belum dimasukkan lagi dalam kamus hidup buat masa terdekat. Cuba untuk mantapkan diri dan muhasabah diri dibuat banyak kali untuk hati kembali terdorong ke arah tu. Di samping itu bak kata teman siapa lagi nak tenangkan hati kita jika bukan kita sendiri yang cuba pujuk hati di samping padaNya kita mengadu untuk ini.

Sememangnya andai penulis ingin ke arah tu banyak persediaan yang perlu umpamanya persiapan diri, kenderaan yang baik serta rumah yang selesa seperti dalam lampiran artikel yang lepas. Hingga saat ini kesediaan untuk itu mungkin belum diizinkan Allah dalam penyediaan. Mungkin juga ini antara hikmah dengan apa yang berlaku. Cuba berlapang dada dan pujuk hati ini dalam penerimaan walaupun adakalanya hati kecil ini kerap terusik. Seperti selalu penulis ungkapkan buat diri yang dhaif ini, andai dunia tidak kita perolehi moga ada habuan buat diri ini di akhirat kelak, insyaAllah. Apapun bersangka baik akan ujian Allah dan doakan yang terbaik untuk semua orang. Mungkin juga itu namanya pengorbanan yang kecil yang mampu kita berikan.


Jemaah tabligh

Dah agak melencong daripada apa yang sebenarnya nak penulis nukilkan. Topiknya lebih kepada antara pengisian topik yang timbul antara kami bertiga. Antara banyak-banyak yang timbul yang menarik dan ambil masa agak lama sikit apabila cuba ditimbulkan berkaitan dengan perkembangan dan perbincangan agama sedikit sebanyak membuatkan masing-masing membuka dan memberi pandangan. Mulanya ditimbulkan oleh Mat tentang perhimpunan jemaah tabligh yang berlaku baru-baru ini kat Nilai, Negeri Sembilan. Sememangnya liputannya agak besar hinggakan pemimpin no 1 dan 2 negara turut datang ziarah dalam sesi tersebut seperti yang pernah diwar-warkan dalam media massa. Dalam masa yang sama Mat juga menghadiri perhimpunan tersebut yang telah mengumpulkan ribuan jemaah tabligh seluruh dunia berkumpul selama 3 hari di sana. Di sinilah diumpamakan seperti antara perhimpunan terbesar umat Islam selain di Mekah sempena menunaikan rukun Islam yang ke-5, fardhu haji du Baitullah.

Berdasarkan pengalaman penulis sendiri sebenarnya dahulunya pernah juga mengikuti semasa di alam belajar di Kuantan, Pahang semasa menyiapkan diploma dahulu. Banyak juga yang penulis belajar dan tahu selok belok apa yang cuba dibawa dan sebagainya tapi masih banyak kekurangan sangat dan kini penulis sudah tidak istiqomah dalam jemaah. Antara salah satu faktor mengapa penulis ketika itu mengikuti jemaah adalah kerana ingin juga memberi sumbangan walaupun tak seberapa dalam menegakkan syiar dan agama Allah di muka bumi ini. Pernah juga beberapa kali keluar ke jalan Allah (khuruj) yang sering dilafazkan dalam sebarang perhimpunan apabila membincangkan akan iman dan amal. Konsep lima amalan infradi dan juga masjid serta 6 sifat sahabat yang kena selalu diulang-ulang dalam penyampaian agar ianya memberi kesan dalam amalan seharian. Itu apa yang penulis masih ingat-ingat lupa tentang jemaah tabligh sepanjang yang penulis ingat.

Apabila berlaku diskusi tentang ini penulis tidak pernah menyatakan tentang penglibatan serta pengalaman penulis tetapi sekadar melontarkan pandangan pada saudara Mat. Ternyata dia juga punya hujah tersendiri dalam menyatakan pandangan berkaitan jemaah tabligh. Sememangnya dia dahulunya memang pernah mengikuti tetapi kini agak kurang penglibatan dalam usaha agama seperti yang diwar-warkan. Antara kata lain adalah kalau nak tahu hakikatnya perlu diusahakan diri berazam untuk keluar jalan Allah dan sekiranya terpilih oleh Allah pastinya dimudahkan. Itulah yang diungkapkan pada penulis sekiranya penulis berhajat untuk merasai nikmat keluar di jalan Allah seperti yang dimaksudkan dalam jemaah katanya. Penulis sekadar tersenyum mendengar apa yang dihujahkannya itu. Seronok penulis mendengar akan kisah-kisah dan pengalaman beliau yang juga tak seberapa sepanjang berada dalam jemaah tabligh walaupun sesetengah perkara penulis sendiri sudah sedia maklum. Walaupun hakikat kini penulis tidak lagi cenderung dalam jemaah tabligh asbab beberapa perkara usul. Mungkin penulis bukan orang yang patut membicarakan khusus bab ini.


Isu wahabi

Dalam pada sembang itu tiba-tiba masuk pula topik yang agak panas. Mulanya dinyatakan jemaah yang ada kat Malaysia ni seperti PAS, JIM, ABIM dan lain-lain. Entah bagaimana timbul pula isu wahabi. Menurut Mat, awal-awal lagi ibunya juga sudah mengingatkan agar jangan terpengaruh dengan fahaman wahabi ni. Penulis cuba lontarkan persoalan apa itu wahabi? Perkara yang sama tentang salasilah Syeikh Muhammad Abdul Wahab diceritakan dan kemudia dicelah pula Mie mengatakan seperti contoh tokoh Dr. Asri Zainal Abidin dan juga beberapa ilmuan agama lain dalam negara. Dalam masa yang sama juga timbul tentang Dr. Danial Zainal Abidin sewaktu awal-awal pembabitan beliau di sana juga ada pihak menggelarkan beliau ini wahabi. Ini kerana pembawaan yang agak agak keras dan hanya perlu bersandarkan akan nas dalam pengamalan dan sekiranya tiada nas maka ditolak terutama dalam pengibadatan kepada Allah.

Tak kira bagi sesiapa sahaja yang terdorong ke arah itu dan cuba melakukan penyongsangan terhadap apa yang masyarakat kini sedang lakukan maka pastinya mereka ini dicop dengan gelaran ini. Persoalan lain yang dilontarkan penulis, kenapa sesatkah wahabi ni? Dia mengatakan bukan sesat tapi adakalanya pendekatan yang dibawa agak keras dan tak sesuai untuk masyarakat kita kat sini. Berlaku juga pertembungan idea antara kami tetapi sekadar menyatakan pandangan sahaja dan ianya tidaklah berlanjutan lama kerana waktu sudah agak lewat pagi dan akhirnya bersurai. Sedikit rasa kurang sedap di hati kerana penulis tidak berkesemapatan untuk nyatakan apa yang penulis paham dan apa yang masyarakat kini paham tentang perkara ini agar masing-masing terutama orang muda seperti kami ini tak mudah terima bulat-bulat apa persepsi orang tentang isu ini tanpa melakukan kajian yang sepatutnya. Di samping itu agar fitnah yang terus menerus diperkatakan kepada Syeikh Muhammad Abdul Wahab dapat diperjelaskan. Boleh rujuk di sini.





Pandangan peribadi

Di sini yang cuba penulis nak rungkaikan adalah apa yang bermain dalam kotak pemikiran penulis. Sememangnya isu ini adalah isu lama di mana pada zaman dahulu isu yang sama pernah timbul di mana dikatakan pertembungan antara golongan muda dan golongan tua. Masing-masing cuba mempertahankan hujah berdasarkan pemahaman ilmu yang dipelajari. Kemudian reda sekejap dan kini timbul semula pertembungan yang sama yang mana gerakan tajdid kini dalam melakukan pembaharuan agama dibawa maka ianya tidak dapat diterima oleh sesetengah golongan yang lain. Info-info berkaitan ini sememangnya boleh dan banyak yang kita peroleh dari sumber internet dan juga kelas-kelas ilmu.

Isu ini juga sememangnya penulis pernah ulas dalam artikel-artikel yang lepas. Boleh buat rujukan di sini. Kebiasaanya kecaman seperti ini dilabelkan kepada sesiapa sahaja yang cuba membuat perubahan dalam kehidupan beragama dalam menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai panduan utama berbanding dalam memfokuskan pada satu mazhab sahaja seperti sebelum ini. Kini apabila pemahaman tentang konteks dalam memahami agama terutama dalam membabitkan ibadah hanya perlu berdasarkan dalil Quran dan Hadith bukan sekadar penyampaian ilmu dari kata ustaz, ustazah mahupun orang alim semata-mata. Penulis sendiri kurang maklum mengapa segelintir bagi penulis sendiri tetap menentang dan tak boleh menerima konsep keterbukaan dalam isu ini. memang betul kita di Malaysia mengamalkan pengamalan berlandaskan mazhab syafie. Tetapi andai kita kaji bukan secara total pengamalan itu dilaksanakan sebagai contoh jual beli, zakat dan sebagainya. Malah dalam pengajian sunnah sekalipun kita masih mengamalkan sandaran daripada imam yang empat yang diiktiraf oleh ijmak ulama kini beraliran ahli sunnah waljamaah. Antara rujukan-rujukan lain hanya bersandarkan nas yang sahih daripada hadith Nabi serta juga ulama-ulama salaf yang lain.

Ternyata penulis sendiri pernah disoalkan dan dikatakan terdorong akan pemahaman ini wahabi juga oleh teman baik dan akrab apabila penulis sampaikan apa yang penulis faham sepanjang pengajian harian sunnah sebelum ini. Ini kerana kadang-kadang penulis mempersoalkan sumber apa yang mereka lakukan ini adakah ianya ada sandaran mahupun tiada. Apabila pertembungan idea dan fikrah sebegini beberapa pendekatan lain perlu diambil dalam konteks ukhwah dan hikmah. Ini kerana ada sesetengah manusia ini serba kekurangan dalam pemahaman agama. Hakikatnya penulis sendiri sememangnya hanya orang awam biasa dan bukan orang faqeh mahupun alim dalam bidang agama. Apa yang cuba dilakukan hanyalah mengamalkan apa yang dipelajari dan yakin ianya punya sandaran walaupun penulis sendiri tidak menghafal matan hadith tetapi Cuma sekadar maksud hadith bagi penulis dah memadai. Sekiranya sesuatu bab mahupun topic berkaitan agama yang penulis masih lagi tidak mendapat maklumat sekadar mengikut pemahaman sebelum ini yang pernah dipelajari di sekolah dan dalam kelas fardhu ain dahulu. Tambah pula kini keterbatasan ruang dan masa untuk hadiri kelas-kelas ilmu asbab kerjaya dan sebagainya.


Pendirian dan pemahaman

Bagi diri penulis sendiri dalam bab-bab seperti ini sebenarnya bagi sesiapa yang kerap menghadiri kelas ilmu agama rasanya tidak timbul akan perbalahan dan salah faham akan apa yang dibawa dan diamalkan. Yang menjadi masalahnya adalah bagi sesetengah golongan yang tak terdorong ke arah tu akan mempersoalkan dan timbul umpama bibit-bibit kebencian pada individu lain yang melakukan lain dari pengamalan sebelum ini. Sebenarnya inilah yang berlaku dalam masyarakat kita kini. Bagi yang belajar dan memahami mereka ini tiada masalah dan masing-masing perlu bersikap keterbukaan dalam penerimaan pendapat dan pandangan dalam sesuatu isu.

Jemaah-jemaah dalam negara seperti yang penulis ungkapkan di atas sememangnya banyak memainkan peranan dalam penyebaran ilmu agama tapi masing-masing ada pro dan kontranya juga. Itu sememangnya tidak dapat dinafikan dalam jemaah Islam hatta yang bergerak seluruh dunia. Berkaitan dengan jemaah rujukan juga pernah dilampirkan. Penulis tak bermaksud nak huraikan secara mendalam berkaitan perkara jemaah ini kerana ianya bukan bidang penulis dalam menyatakan pandangan tetapi penulis sendiri lebih cenderung bagi aliran manhaj salafus soleh dalam memahami konsep ketauhidan yang syumul mengikut fahaman yang dibawa oleh junjungan besar Nabi Muhammad saw, para sahabat, tabi’ tabiin dan ulama salaf yang terdahulu. Dalam masa yang sama dalam mengamalkan pengamalan ianya dilakukan dengan ilmu dan cuba berlaku hikmah kerana pemahaman masyarakat kebanyakan belum terbuka untuk itu. Tetapi dalam masa yang sama sesiapa sahaja yang berusaha dalam menegakkan syiar Islam pastinya kita juga perlu memberi sokongan tak kira apa platform yang didudukinya selagi mana cara yang dilakukan menepati apa yang syarak gariskan dan cuba elakkan diri dari terjerumus ke jalan yang menyimpang daripada Al-Quran dan As-Sunnah.




Pengamalan dalam kehidupan

Kadang-kadang dalam menyatakan pandangan masyarakat amat sensitif apabila membicarakan tentang bid’ah dan sebagainya. Asbab itu juga apabila berbicara dengan teman-teman berkaitan dengan perkara seperti ini penulis hanya mengungkapkan ianya kurang menepati sunnah dan andai ditinggalkan lebih baik. Mungkin pendekatan seperti itu agak lembut dalam menyatakan pandangan dalam menjaga ukhwah kerana topik berkaitan perpecahan ukhwah dalam permasalahan khilafiah akan penulis lampirkan nanti di keluaran yang akan datang setelah sumbernya penulis perolehi. Dalam pengamalan lain sebagai contoh apabila kadangkala penulis ditolak sebagai imam solat di surau apabila selesai solat yang lebih dianjurkan adalah zikir dan doa sendirian tetapi dalam menjaga ukhwah penulis melakukan doa ringkas bersama jemaah.

Antara lain sebagai contoh bacaan yasin malam jumaat yang masih diamalkan di kebanyakan masjid dan dalam menyatakan pandangan penulis akan hal ini dinyatakan tak salah nak baca yasin ke malah apa jua surah lain tetapi yang lebih dianjurkan adalah bacaan surah al kahfi dan baik dilakukan secara individu. Mungkin itu antara pendekatan dalam pengamalan yang penulis bawa dalam bermasyarakat kini di kalangan orang awam di persekitaran. Cuba berlapang dada dan dalam masa yang sama ukhwah dijaga lebih-lebih lagi yang berkait rapat dalam soal khilafiah. Kadangkala dalam berlaku hikmah seperti ini juga terdapat juga ujian yang tersendiri yang akan datang kerana bukan mudah nak puaskan hati semua pihak terutama orang yang lebih tua daripada kita. Tambahan pula kesedaran yang tinggi akan diri penulis ini yang hanya orang awam biasa dan bukan orang alim antara faktor timbul perkara seperti ini.

Ini semua adalah pandangan penulis sahaja dan pastinya mungkin ada dikalangan penuntut-penuntut sunnah yang lain punya pendekatan yang berbeza. Yang pastinya biarlah apa jua persepsi orang pada kita kita teruskan dengan pemahaman dan pengamalan kita yang mengutamakan Al-Quran dan Sunnah mendahului segalanya serta jalan yang ditempuh oleh para sahabat, tabi’ tabiin serta ulama salaf yang lain. Itu antara jaminan Nabi saw bagi umat akhir zaman supaya tidak tersesat dan berada di atas landasan yang satu dan benar, insyaAllah.

Sunday, November 1, 2009

Memetik Buah Keikhlasan


Pada beberapa edisi yang lalu, anda telah mengetahui betapa pentingnya dan besarnya peranan ikhlas dalam sebuah amalan, karena sebuah amalan tidak akan diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala jika pelakunya tidak mengikhlaskan amalannya tersebut karena Allah subhanahu wata’ala. Dan pada edisi kali ini akan kami bawakan beberapa keutamaan dan buah yang bisa dipetik dari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala, di antaranya adalah:

1. Mendapatkan syafa’at Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at engkau pada hari kiamat nanti?” Beliau menjawab: “Orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dengan ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR. Al Bukhari)
'
Makna ikhlas di sini adalah dia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan sekaligus menjalankan konsekuensi-konsekuensi dari kalimat tersebut, yakni dia harus benar-benar mempersembahkan amal ibadahnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan engkau menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An Nisa’: 36)

2. Dibukakan baginya pintu-pintu langit
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas, kecuali pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu langit, sampai dia dibawa ke ‘Arsy (tempat beristiwa’nya Allah), selama dia menjauhi perbuatan dosa-dosa besar.” (HR. At Tirmidzi)

3. Diharamkan baginya An Nar (Neraka)
Sesungguhnya An Nar itu haram dimasuki oleh orang-orang yang ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menolong umat ini dengan adanya kaum yang lemah di antara mereka, dengan doa mereka, dengan shalat mereka, dan dengan keikhlasan yang ada pada mereka.” (HR. An Nasa’i)

7. Dilapangkan dari masalah yang sedang menghimpitnya
Terkadang seorang muslim dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik yang terkadang menjadikan dia berputus asa dalam mengatasinya. Tetapi, tahukah anda bahwa amalan-amalan yang dilakukan dengan ikhlas dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) dalam berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala untuk dihilangkannya berbagai masalah yang sedang menghimpitnya?

Hal ini pernah menimpa tiga orang pada zaman dahulu ketika mereka terperangkap di dalam sebuah goa. Kemudian Allah subhanahu wata’ala selamatkan mereka karena do’a yang mereka panjatkan disertai dengan penyebutan amalan-amalan soleh yang mereka lakukan ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala. Kisah selengkapnya bisa anda baca di kitab Riyadhush Shalihin hadits no. 12.

8. Husnul Khatimah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seseorang yang telah membunuh 99 bahkan 100 orang. Kemudian orang tersebut hendak bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi akhirnya orang tersebut meninggal sebelum beramal kebajikan sedikitpun.

Namun Allah subhanahu wata’ala terima taubatnya karena keikhlasan dia untuk benar-benar bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan dia pun tergolong orang yang meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Kisah selengkapnya juga bisa anda baca di kitab Riyadhush Shalihin hadits no. 20.

9. Benteng dari godaan setan
Setan dan bala tentaranya akan senantiasa menggoda umat manusia seluruhnya sampai hari kiamat. Namun hanya orang-orang yang ikhlaslah yang akan selamat dari godaan mereka ini. Hal ini diakui sendiri oleh pimpinan para setan yaitu iblis, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala sebutkan pengakuannya itu dalam Al Qur’an (artinya):“Iblis berkata: “Wahai Tuhanku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka.” (Al Hijr: 39-40)

10. Selamat dari jurang kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala
Tercatat dalam sejarah, bagaimana dahsyatnya godaan yang dialami Nabi Yusuf ? ketika diajak berzina oleh seorang istri pejabat negeri waktu itu. Namun Allah subhanahu wata’ala selamatkan dia dan Allah subhanahu wata’ala palingkan dia dari perbuatan tersebut. Allah subhanahu wata’ala kisahkan peristiwa ini di dalam Al Qur’an (artinya): “Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.” Apa sebabnya? “Sesungguhnya dia (Yusuf) itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.” (Yusuf: 24)

11. Senantiasa di atas kebaikan
Diriwayatkan oleh Ja’far bin Hayyan dari Al Hasan, bahwa beliau berkata: “Senantiasa seorang hamba itu berada dalam kebaikan, jika berkata, (ikhlas) karena Allah subhanahu wata’ala, dan jika beramal, (ikhlas) karena Allah subhanahu wata’ala.”


KEUTAMAAN IKHLAS DALAM MENJALANKAN RUKUN ISLAM
Agama Islam itu memiliki lima rukun berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Islam itu dibangun di atas lima rukun: Syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melakukan ibadah haji ke Baitullah Al Haram.” (HR. Al Bukhari, Muslim).

Barangsiapa yang melaksanakannya dengan keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala, maka dia telah membangun bangunan Islam ini dengan pilar-pilar yang sangat kuat sehingga dia tetap istiqamah di atas agama Islam sampai dia dipanggil ke haribaan-Nya. Di samping itu ada beberapa keutamaan khusus yang terdapat pada masing-masing amalan rukun Islam tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berikut:

1. Ikhlas dalam syahadat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah ada satu jiwa pun yang meninggal dalam keadaan bersyahadat Laa Ilaaha Illallah dan aku adalah Rasulullah yang itu semua kembali kepada hati seorang mukmin (ikhlas dari lubuk hatinya), kecuali Allah akan beri ampunan kepadanya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, lihat Ash Shahihah, no. 2278)

2. Ikhlas dalam Shalat
Keutamaannya sebagaimana yang disabdakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berikut: “Tidaklah ada seorang muslim yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kemudian menegakkan shalat dua rakaat dengan menghadirkan hati dan wajahnya (ikhlas), kecuali wajib bagi dia untuk masuk Al Jannah.” (HR. Muslim)

3. Ikhlas dalam Menunaikan Zakat
Pernah salah seorang shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam datang kepada beliau dan menanyakan tentang Islam. Beliau pun menjawabnya dengan menyebutkan beberapa perkara, di antaranya adalah kewajiban membayar zakat. Kemudian shahabat tadi pergi dan mengatakan: “Demi Allah, aku tidak akan menambah (dari yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) dan tidak akan menguranginya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Sungguh dia beruntung jika benar-benar jujur dalam ucapannya.” Di antara konsekuensi kejujuran seseorang adalah hendaknya dia benar-benar ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala dalam amalannya tersebut.

4. Ikhlas dalam Menjalankan Puasa Ramadhan
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata ikhlas mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

5. Ikhlas dalam Ibadah Haji
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji semata-mata ikhlas karena Allah, dan dia tidak melakukan perbuatan kotor dan dosa dalam hajinya tersebut, maka dia kembali dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya (suci dan bersih dari dosa).” (HR. Al Bukhari, Muslim)



KUMPULAN ARTIKEL AQIDAH DARI BULETIN AL-ILMU JEMBER