Al-Qur’an yang mulia telah berkisah tentang tawaran seorang lelaki tua yang shalih di negeri Madyan kepada Nabi Musa 'alaihissalam agar bersedia menikahi salah seorang putrinya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ. قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِينُ. قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِينَ. قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا اْلأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلاَ عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di
Pendapat lain mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah saudara Nabi Syu’aib. Adapula yang berpendapat dia adalah lelaki mukmin dari kaum Syu’aib. Yang lain mengatakan, Syu’aib diutus pada masa yang jauh dari zaman Musa 'alaihissalam, karena Syu’aib berkata kepada kaumnya:
وَمَا قَوْمُ لُوْطٍ مِنْكُمْ بِبَعِيْدٍ
“Tidaklah kaum Luth berada jauh dari kalian.” (Hud: 89)
Sementara masa kebinasaan kaum Luth terjadi di zaman Nabi Ibrahim 'alaihissalam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an. Dan diketahui bahwa jarak antara masa Nabi Ibrahim dengan Nabi Musa amatlah jauh, lebih dari 400 tahun, sebagaimana disebutkan lebih dari seorang ulama. Termasuk yang memperkuat pendapat bahwa lelaki itu bukanlah Nabi Syu’aib adalah seandainya benar dia Nabi Syu’aib niscaya Al- Qur`an akan menyebut namanya dalam ayat tersebut. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/110)
Lihat pula apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ketika putrinya Hafshah radhiyallahu 'anha menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi radhiyallahu 'anhu di Madinah, ‘Umar radhiyallahu 'anhu mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu yang belum lama ditimpa musibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “
“Iya,” jawab Umar.
“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)
Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah, yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita, “Aku biasa duduk di majlis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku tidak hadir dari majlisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana engkau?”
“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.
“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenazahnya?” tanya Sa’id.
Setelah beberapa lama berada dalam majlis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id menanyakan dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang baru?”
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali wang sebanyak dua atau tiga dirham?” jawabku.
“Aku orangnya,” kata Sa’id.
“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku
“Iya,” jawab Sa’id.
Ia pun memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba- tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.
“Sa’id,” jawab si pengetuk.
Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid [Karena Sa’id memakmurkan hari-harinya untuk memberikan pengajaran ilmu kepada manusia di rumah Allah Subhanahu wa Ta'ala]. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”
“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.
“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.
“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”
Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)
Dari kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan atau saudara wanita kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!
Wallahu a’lam bish-shawab.
Suntingan penulisan Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dalam Indahnya Pernikahan Islami dalam bentuk CHM..
No comments:
Post a Comment